Pemimpin Pilihan Allah

Setahun sudah pemerintahan Jokowi-JK memimpin Negara ini. Persoalan ekonomi menjadi pusat taruhan. Tekanan krisis ekonomi yang begitu kuat saat ini mulai menggeser isu-isu aliran ke tepian. Meski gejala politisasi agama masih terasa, namun sifatnya hanyalah sekunder, kalah sengit dibandingkan dengan isu-isu neoliberaliasme, realisme (sektor riil), dan ekonomi kerakyatan.

Dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif, banyak suara yang mengemuka yang membayangkan presiden sebagai manager-in-chief birokrasi pemerintahan yang mengatur ribuan lembaga pemerintahan, jutaan pegawai negeri sipil, militer, dan kepolisian. Tetapi Richard Rose menyebutkan, ”Presiden tidak bisa mengelola seluruh dimensi pemerintahan, yang nyata-nyata lebih sulit daripada mengurus kawanan kuda liar.”
Pakar kepresidenan, Stephen Hess, meluruskan, ”Ketimbang sebagai manager-in-chief, presiden adalah chief political officer sebuah republik.” Dalam posisi terakhirnya ini, tanggung jawab utama seorang presiden adalah membuat sejumlah keputusan yang amat signifikan, seperti menentukan prioritas nasional, yang diterjemahkan ke dalam anggaran dan proposal legislasi dan memperlengkapi kebijakan untuk menjamin keselamatan negara.

Sebagai chief political officer, tugas utama presiden adalah ”memimpin” (to lead), bukan “mengurus” (to manage) pemerintahan. Sebagai pemimpin pemerintahan, presiden dituntut bertindak secara sistematis untuk mendefinisikan mandat dan watak kepemimpinannya, selain harus menempatkan orang-orang yang loyal terhadap agendanya dalam posisi-posisi kunci yang akan melaksanakan mandat itu.

Karena presiden tidak bisa mengurus dan menyelesaikan semua urusan pemerintahan, maka agenda pemerintahannya harus jelas dan terbatas dengan arahan yang jelas. Kata kuncinya disini adalah fokus. Ambisi untuk menyelesaikan segala masalah sekaligus berisiko menangguk kegagalan di semua lini.

Menentukan fokus memerlukan keberanian guna menghadapi pihak-pihak yang merasa terabaikan. Namun ada resiko besar bagi presiden yang terlalu berhati-hati mencari jalan aman: peluang lewat, momentum lenyap, sinisme menguat.

Akhir tahun 2015 ini adalah tahun politik untuk Negara kita dan gereja kita. Para kepala daerah mulai sibuk mensosialisasikan visi, misi dan program-program setelah terpilih nanti. Gubernur, bupati atau walikota yang terpilih sudah pasti adalah pemimpin ideal yang sesuai harapan rakyat.

Kini tinggal kepala daerah menentukan nilainya sendiri, berhenti sebagai politisi yang menempatkan diri sebagai pelayan terhadap dirinya atau menjadi pemimpin yang menempatkan dirinya sebagai pelayan terhadap warga. Ini terasa sangat Alkitabiah sebagaimana yang diajarkan Yesus, “Aku datang untuk melayani bukan untuk dilayani.” Sebagai pemilih kita punya andil yang sangat besar dalam menentukan kualitas pemimpin mendatang, dengan cara memilih secara cermat dan bertanggung jawab!

Begitu pula dengan dalam organisasi gereja, terlebih dalam tingkatan yang berstatus sebagai “konfrens” di mana perwakilan jemaat yang akan memilih pemimpin yang akan datang. Semoga semua yang mendapatkan tanggung jawab untuk memilih pemimpin gereja di masa datang benar-benar memilih sesuai dengan prinsip pemimpin yang Alkitabiah, bukan memilih atas dasar kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.