Belajar Dari Kisah Ibu Menteri Susi

Semenjak pemerintahan presiden Jokowi mulai memerintah bulan lalu, sejumlah berita heboh mulai memenuhi berita-berita di seantero Indonesia bahkan luar negeri. Berita yang menceritakan tentang bagaimana pelantikan presiden yang ‘beda’ dengan pelantikan-pelantikan sebelumnya sampai-sampai orang-orang yang terpilih di dalam kabinet kerja beliau.

Dari semua berita yang menghebohkan ini, satu berita sepertinya terus dan terus menjadi perhatian banyak orang. Berita ini dating dari sosok seorang menteri yang dipilih Presiden Jokowi dalam kabinetnya, Susi Pudjiastuti. Ibu menteri Susi sebagaimana dia akrab disebut di berbagai media, memegang tanggung jawab sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Ibu menteri ini selain nyentrik, terobosannya pun sepertinya di luar system yang sudah-sudah.

Akan tetapi tujuan artikel saya kali ini bukanlah ingin membahas akan perihal ibu menteri yang satu ini. Artikel ini juga bukanlah diskusi politik yang ‘terselubung’. Hanya ada sesuatu yang menarik yang saya rasa berhubungan dengan kisah ibu menteri ini. Dari semua menteri yang dipilih Presiden Jokowi, ibu ini sepertinya semakin mencolok karena latar pendidikan formalnya yang tidak lazim. Dia hanya menyelesaikan pendidikan formalnya sampai SMP, dan keluar saat ia berada di kelas 2 SMA. Latar belakang ini sepertinya menjadi sebuah bahan diskusi yang hangat karena semakin muncul sebuah perspektif baru bahwa pendidikan formal yang tinggi bukanlah menjadi sebuah jaminan pekerjaan akan terselesaikan. Susi berhasil membuktikan bahwa tanpa pendidikan formal pun seseorang bisa menjadi seorang yang berhasil bahkan menjadi seorang menteri yang brilian. Beberapa dari kalangan Akademisi perikanan bahkan menyindir menteri Susi dengan mengatakan bahwa dia hanya seorang yang tahu bagaimana caranya “menjual dan membeli ikan” dan sampai di situ. Akan tetapi public tetap mendukung menteri Susi karena terbukti hanya dalam satu bulan memimpin kementrian Kelautan dan Perikanan gebrakan-gebrakan brilian dan terobosan-terobosan efektif sepertinya mulai nampak terlihat.

Persepsi yang sama sebenarnya sudah lama kita miliki di dalam pelayanan gereja. Diskusi yang sepertinya belum juga berakhir akan semakin hangat dengan hadirnya sosok ibu Susi ini. Pertanyaan yang kontroversial, “apakah penting bagi seseorang untuk memiliki gelar akademis tinggi untuk dapat melayani Tuhan secara efektif ? ” akan semakin mungkin didiskusikan di dalam kegiatan pelayanan kita apalagi sementara banyak organisasi kita sedang mengadakan rapat akhir tahun dan akan ada perubahan-perubahan posisi dan jabatan “kabinet” di dalam kepemimpinan gereja.

Jadi apakah gelar akademis, pencapaian kesarjanaan, dapat menjadi tolok ukur yang mumpuni dalam meletakkan seseorang di jabatan terntentu di dalam gereja? Pertanyaan sebaliknya, apakah kita sekarang hanya akan sekedar meletakkan orang siapapun itu, walaupun pendidikannya tidak sampai S3 yang penting orang itu bisa bekerja?

Menariknya, Alkitab sepertinya meletakkan pemilihan mereka lebih ke arah tengah. Tuhan sepertinya menggunakan orang orang akademis, professor-professor, tetapi di sisi lain Tuhan juga menggunakan orang orang yang pendidikannya ala kadarnya untuk dapat melayani pekerjaan Tuhan. Contoh yang mudah saja adalah saat Yesus memilih murid-muridnya. Yesus memanggil orang-orang seperti menteri Susi. Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes adalah orang-orang yang bekerja di industry perikanan, dan setiap hari berkutat dengan kehidupan menangkap ikan dan seluk beluk industry perikanan. Mereka mungkin tidaklah mendapatkan pendidikan formal yang sejajar dengan orang orang Yahudi pada umumnya, tetapi mereka mengerti keadaan lapangan dengan baik. Mereka, ulet, pekerja keras, dan karakter inilah yang Yesus lihat di dalam orang orang ini sehingga mereka terpanggil sebagai penjala manusia. Tetapi, Yesus tidak berhenti di situ. Setelah Ia kembali ke surga, ia kemudian memanggil seorang akademisi, professor perjanjian lama bernama Saulus. Saulus merupakan seorang ahli agama yang belajar di bawah bimbingan seorang guru besar Theologia masa itu Gamaliel. Saulus, yang akhirnya kita kenal sebagai Rasul Paulus adalah seorang yang terpelajar, dan memiliki paling tidak dua gelar Doktor kalau dia masih hidup di zaman sekarang ini. Dua kelompok ini, yang terpelajar dan yang ahli lapangan, bekerja bahu membahu, dan oleh karena pelayanan mereka maka Kekristenan telah menjangkau hamper seluruh dunia. Bahkan kalau bukan karena mereka saudara dan saya mungkin tidak pernah akan mendengar akan kabar keselamatan di dalam Yesus Kristus.

Apa yang membuat mereka berhasil? Hal pertama yang kita bisa segera tangkap, adalah karena murid – murid Yesus ini, berfokus kepada tujuan yang sama yaitu Pekabaran Injil Yesus Kristus. Di dalam hati dan pikiran mereka, tidak ada ‘agenda’ yang lebih penting dari pada pekabaran ini disampaikan kepada segala bangsa. Gesekan terjadi, kesalah pahaman terjadi di antara mereka, tetapi itu semua tidaklah sampai membelah gereja sehingga mereka kehilangan visi mereka akan pekabaran injil. Visi yang sama mungkin saatnya lagi kita hidupkan di dalam pekerjaan Tuhan sekarang ini. Saat kepentingan pribadi kita tidak menghambat pekerjaan Injil, maka entah kita berada sebagai akademisi, atau pengerja lapangan, kaum awam, maupun pelayan gereja, kita tetap bisa memandang satu dengan lainnya sebagai anggota tim untuk pelayanan yang lebih besar yaitu untuk Juruselamat kita.

Hal kedua yang bisa kita lihat dari para Rasul ini adalah yang menentukan keberhasilan pelayanan bukanlah hanya sekedar gelar akademis yang tinggi, atau bahkan pengalaman lapangan yang terbukti. Yang membuat keberhasilan mereka tercapai adalah hati yang tulus tergerak untuk melayani Kristus dan keberanian untuk melakukan yang benar. Motivasi lebihlah penting dari pada sekedar prestasi entah itu prestasi akademis atau pun prestasi lainnya. Ketulusan itu yang kadang seperitnya tidak selalu bisa kita temukan bahkan di dalam pekerjaan pelayanan Tuhan. Kita seringkali masih menggunakan pelayanan sebagai jembatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, entah itu dalam bentuk materi, penghargaan, kehormatan, kekuasaan, atauapapun yang lainnya.

Kisah ibu Susi, dan Murid-murid Yesus mengingatkan kepada kita yang mungkin sekarang ini telah mendapatkan begitu banyak gelar akademis yang tinggi bahwa gelar akademis yang tinggi bukanlah sebuah jaminan mutlak akan sebuah keberhasilan yang pasti di dalam pelayanan Gereja. Mereka telah membuktikan, keyakinan yang pasti akan panggilan mereka, ketulusan mereka untuk bekerja untuk orang lain, Negara (bagi ibu Susi) dan Tuhan (bagi Murid – Murid Yesus) memberikan hasil yang lebih dari sekedar sebuah gelar yang disandang di kartu nama, atau Curicullum Vitae kita. Oleh karena itu, mungkin waktunya bagi kita para professor, akademisi, penyandanggelar S2, S3, Post-doctoral Fellow, dan sebagainya, untuk kembali merefleksikan arti gelar kita. Apakah gelar ini berarti banyak di bawah salib Kristus yang sepatutnya kita pikul? Mungkin ini waktunya bagi kita untuk beralih dari berusaha selalu menunjukkan gelar akademis kita sebagai “jaminan” keberhasilan kita dan menggantinya dengan seruan “Kalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah tukang-tukangnya bekerja. Kalau bukan TUHAN yang melindungi kota, sia-sialah para pengawal berjaga” Maz 127:1
Ini juga bukan berarti bahwa kita tidak perlu untuk belajar, atau menimba ilmu sedalam dalamnya. Alkitab menyatakan “Hati orang berpengertian memperoleh pengetahuan, dan telinga orang bijak menuntut pengetahuan.” Amsal 18:15 Pendidikan adalah penting di dalam kehidupan spiritualitas kita. Kita tidak bisa sekedar berharap bahwa belajar tidaklah penting bagi pelayanan. Kita telah diberikan sebuah system pemrosesan yang luar biasa kompleks untuk kita pakai untuk lebih mengenal Tuhan kita.

Akhir kata, biarlah segala pemberian dan talenta kita dapat kita gunakan untuk pekerjaan pelayanan Injil. Di akhir dari segalanya, apapun pemberian Tuhan tersebut hanyalah berguna kalau itu dapat mempercepat kedatangan Kristus. Kita tidak akan lagi menggunakannya saat pekerjaan kitas udah selesai, dan kita akan menikmati liburan 1000 tahun di Surga. Oleh karena itu, marilah kita gunakan apapun berkat Tuhan itu, untuk kemuliaanNya semata.***.