Menghakimi Tanpa Menyakiti

Dapatkah kita menghakimi tanpa menyakiti hati orang yang dihakimi? Sebagai manusia normal kita terbiasa mengandalkan diri sendiri melebihi orang lain. Hidup ini bagaikan tidak ada salah sedikitpun dalam diri sendiri. Kita menghakimi, menuduh, menuding dan mengeritik tanpa memikirkan akibatnya terhadap orang lain.
Kalau orang lain bertindak salah, kita berkata bahwa dia itu jahat. Tetapi kalau kita yang bersalah: ”oh itu khilaf.” Kalau orang lain mengatur sesuatu sesukanya: dia itu keras kepala dan tidak mau diatur. Tapi jika kita yang mengatur sesuka kita: ”saya memang orangnya tegas.” Kalau orang lain tidak senang kepada teman kita, dia berprasangka jahat. Tapi kalau kita tidak senang terhadap orang lain: ”saya melakukan segala sesuatu dengan pertimbangan yang matang.”Kalau orang lain suka menolong, dia itu lagi cari muka. Tapi kalau kita yang cari muka: ”saya menggunakan taktik.”Kalau orang lain kerjakan sesuatu dengan berhati-hati, kita katakan bahwa dia lambat seperti keong. Tapi kalau kita yang lambat: ”saya orangnya sangat teliti dan perfectionist.” Kalau orang lain marah, dia itu pemarah dan menderita darah tinggi. Tapi kalau kita yang marah-marah: “saya memang sifatnya sudah begitu sejak dulu.”
  Sebutan “Jika martil merupakan satu-satunya alat pertukangan anda, maka setiap masaalah akan anda anggap sebagai paku.” Abraham Maslow, quoted in Eating Problems for Breakfast by Tim Hansel, Word Publishing, 1988, p. 54.
  Matius 7:1 “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. 7:2 Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.Ayat-ayat di atas melarang kita agar tidak menghakimi atau mengeritik walaupun itu merupakan kritik membangun sekalipun . Dengan kata lain jangan mencari-cari dan menunjuk kesalahan orang. Tapi ketika kita mengadakan rapat (apakah itu rapat Komite Jemaat, Daerah, Konferens atau Uni) kita cenderung membicarakan kelemahan dan kesalahan orang lain. Kadangkala rapat itu telah menjadi ajang pertikaian antara yang menuding dan membela. Baru-baru ini saya mendengar salah seorang sahabat saya mengatakan bahwa kata ”MAJELIS” sudah diplesetkan menjadi MANUSIA JELMAAN IBLIS (MAnusia JElmaan ibLIS.) Langsung timbul perasaan tidak enak seandainya saya menjadi salah seorang anggota majelis gereja. Seringkali dalam rapat-rapat majelis kita bertengkar dan saling mempertahankan pendapat sehingga terjadi keributan dan jelmaan. Menjalankan disiplin dalam bentuk apa saja menghendaki adanya pembahasan dan tuduhan terhadap kondisi moral atau spiritual orang lain. Dan karena tuduhan-tuduhan secara gencar dilancarkan kepada seseorang maka banyak yang menganggap bahwa ayat 1 dan ayat 2 di atas dapat mengesampingkan setiap jenis disiplin jemaat. Kalau begitu komite jemaat tidak berhak menjalankan disiplin berdasarkan penjelasan Matius 7:1 dan 2.
  Selanjutnya mari kita meneliti Matius 7:3 Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? 7:4 Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. 7:5 Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” Jelas ayat-ayat ini memberikan keterangan lengkap bagi mereka yang duduk dalam rapat-rapat Jemaat, Daerah atau Konferens maupun Uni bahwa disiplin dapat dijatuhkan kepada seseorang bila yang memberikan keputusan disiplin itu sendiri tidak lagi memiliki ”selumbar” di dalam matanya. Yesus berkata: ”Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil.” (Yohanes 7:24.)
  Umat Tuhan memiliki tanggungjawab untuk menghakimi mereka yang ada dalam jemaat. Dengarkan kata-kata Rasul Paul: 1 Korintus 5:9 Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul. 5:10 Yang aku maksudkan bukanlah dengan semua orang cabul pada umumnya dari dunia ini atau dengan semua orang kikir dan penipu atau dengan semua penyembah berhala, karena jika demikian kamu harus meninggalkan dunia ini. 5:11 Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama. 5:12 Sebab dengan wewenang apakah aku menghakimi mereka, yang berada di luar jemaat? Bukankah kamu hanya menghakimi mereka yang berada di dalam jemaat?
Rasul Yohanes mengajarkan kepada kita: 1 Yohanes 4:1 Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia. Perlu instrospeksi secara tepat ketika kita coba untuk menolong orang lain. Karena Yesus sendiri mengatakan: ”Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.” (Matius 7:4)
Kita dapat menghakimi dengan roh pengampunan dan murah hati. Lukas 6:36 Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” 6:37 “Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamu pun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni. Yakobus 2:13 Sebab penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas penghakiman.
  Menurut Tuhan Yesus bahwa ada waktunya dimana kita boleh menghakimi, yaitu setelah kita mengoreksi kesalahan kita sendiri. Matius 7:5 Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” Pertama-tama kita harus keluarkan dulu balok dari mata kita barulah kita menolong mengeluarkan selumbar di mata saudara kita. Dengan kata lain kita membantu saudara kita melepaskan dirinya dari selumbar setelah balok di mata kita sudah dikeluarkan. Tidak pada tempatnya seseorang yang bersalah menolong seorang bersalah lainnya.
Sir Percival Lowell ( March 13, 1855– November 13, 1916) seorang astronomer kaya yang berkeyakinan bahwa di Mars terdapat kanal atau saluran-saluran air. Ia adalah penemu Lowell Observatory di Flagstaff, Arizona. Percival Lowell berasal dari keluarga Boston Lowell yang terkenal. Adiknya, Abbott Lowel adalah Presiden dari Harvard University dan saudara perempuannya, Amy Lowell terkenal sebagai penyair ulung. Selama lebih dari 15 tahun ia mempelajari dan meneropong planet Mars dan merasa tertarik kepada kanal-kanal atau saluran-saluran di Mars. Berdasarkan penyelidikan Lowell ini, maka Astronomer Italia, Giovanni Virginio melukis Mars dengan sejumlah kanal. Lowell mempublikasi pendapatnya itu dalam 3 buah buku masing-masing berjudul: Mars (1895), Mars and Its Canals (1906), dan Mars As the Abode of Life (1908). Ia juga yakin bahwa di Mars pernah tinggal mahkluk-mahkluk hidup.
Sejalan dengan berubahnya zaman, pesawat-pesawat angkasa luar telah mengelilingi Mars dan mendarat di sana. Seluruh planet ini sudah difoto dan dibuat peta. Para ahli tidak menemukan satu pun kanal atau saluran. Kesimpulan yang ditarik ialah: (1) Karena begitu menggebu-gebunya Lowell mau melihat kanal-kanal ini sehingga setiap hari selama 15 tahun terakhir matanya ia gunakan untuk meneliti dan mengamat-amati Mars. (2) Para ahli juga berpendapat bahwa karena memaksakan matanya untuk melihat kanal di Mars dengan teleskop di Arizona maka pembuluh darah di matanya membengkak. Ia menderita penyakit aneh di mata dan tanpa sadar ia melihat sendiri pembuluh darahnya yang membengkak dengan dilatar-belakangi planet Mars sehingga ia mengambil kesimpulan bahwa di Mars ada kanal. Gejala itu sekarang dikenal dengan “Lowell’s Syndrome”.
Tuhan Yesus sendiri dalam Matius 7:1-5 mengamarkan bahwa tuduhan yang kita tuduhkan kepada orang lain juga dapat berbalik menuduh diri kita sendiri. Inilah Lowell’s Syndrome rohani. Berulang kali kita melihat balok di mata orang lain karena kita tidak percaya bahwa mereka memiliki sesuatu yang lebih baik dari kita. Dan seringkali pula kita segera menemukan kekurangan sesama kita, ketika pada saat yang sama visi kita telah tertutup dan terhalang oleh penyakit sendiri. Segala sesuatu yang tak dapat kita perbaiki dalam diri sendiri atau diri orang lain harus ditanggung dengan sabar. Kita harus berikhtiar dengan sabar untuk memperbaiki kelemahan orang lain, karena kita sendiri juga punya kelemahan dan dosa. Kerinduan kita ialah agar orang lain juga perlakukan kita dengan sabar. Kalau kita tidak sanggup hidup seperti yang kita rindukan, bagaimana mungkin kita harapkan orang lain harus hidup seperti yang kita harapkan? Kita mau orang lain itu sempurna sedangkan kita sendiri tidak sempurna. Kita mau supaya orang lain dikoreksi dengan keras, sedangkan kita sendiri tidak mau dikoreksi. Kita mau agar orang lain dihukum berat dengan peraturan yang ada, walau kita sendiri tidak mau dihukum seberat itu. Kita mau orang lain hidup tepat menurut tuntutan 10 Hukum Tuhan, sedangkan kita sendiri belum sempurna dalam penurutan. Kita seringkali menimbang tetangga kita dalam timbangan yang kita sendiri tidak mau pakai. Adilkah itu? Mungkinkah mengeritik tanpa menyakiti? Mungkinkah menghakimi tanpa timbulkan sakit hati?
Kalau begitu (1) Jangan mendustai diri. Akui dosa dan kelemahan sendiri. (2) Jangan menganggap diri lebih suci. (3) Jangan anggap enteng orang lain. (4) Perbiasakan diri untuk melihat yang terbaik dalam diri orang lain. (5) Jangan sombong. (6) Bila anda bersalah, akui itu sebelum orang lain menegur anda. (7) Teladani Yesus: Lukas 23:34 Yesus berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
  Sejak jaman prasejarah, Mongolia dikuasai oleh suku pengembara (kaum nomad) yang dari waktu ke waktu membentuk suatu konfederasi besar. Konfederasi Xiongnu berkuasa pada tahun 209 SM. Mereka menjadi ancaman bagi Dinasti Qin sehingga Cina membangun the Great Wall yang dijaga oleh 300.000 tentara. Dalam kekacauan yang terjadi di abad XII seorang kepala suku bernama Temujin yang dikenal dengan nama Genghis Khan mempersatukan suku-suku Mongolia antara Manchuria sampai pegunungan Altai di tahun 1206. Sejak itu terjadi peperangan silih berganti antara Mongolia dan Cina yang kemudian membuat Genghis Khan menguasai wilayah seluas 33 juta km2 yang terbentang dari Polandia di bagian barat sampai Korea di Timur, dan dari Siberia di Utara sampai teluk Oman dan Vietnam di Selatan. Mongolia saat itu berpenduduk 100 juta dengan areal wilayah sebesar 22% tanah di dunia.
  Dalam masa peperangan tersebut di salah satu desa dekat ibu kota Ulan Baator tinggal satu keluarga yang terdiri atas Ayah, Ibu, seorang anak lelaki bernama Cheng dan seekor kuda jantan. Kuda ini merupakan kesayangan seluruh anggota keluarga dan juga sebagai tulang punggung keluarga dalam pertanian. Pada suatu hari kuda jantan satu-satunya ini hilang dari kandang. Para tetangga berdatangan dan berkomentar mengenai kuda tersebut. Mereka katakan ini merupakan suatu malapetaka bagi keluarga, karena mereka tidak lagi dapat bertani untuk menafkahi keluarga. Tapi si ayah berkata: ”Mengapa kamu berkata demikian? Bukankah cukup kamu katakan bahwa kuda jantan itu sudah hilang. Jangan berkomentar macam-macam, karena kamu tidak mengetahui mengapa kuda itu hilang dan apa yang terjadi dengan dia. Hanya Tuhan yang Maha Mengetahui. Dan jangan mengatakan ini suatu malapetaka, mungkin saja ini juga merupakan keberuntungan.” Para tetangga menggeleng-geleng kepala dan menggerutu bahwa orangtua ini sudah gila.
Dua minggu kemudian kuda ini kembali dan masuk kandang bersama seekor kuda betina liar. Rupanya kuda ini lagi jatuh cinta dan berpacaran. Para tetangga berdatangan dan mengucapkan selamat kepada tuan rumah dan berkata bahwa ini adalah suatu keberuntungan. Kembali si tuan rumah berkata: ”Jangan kamu berkata macam-macam. Jangan menambah dan jangan mengurangi apa yang telah terjadi. Cukup kamu bersyukur kepada Tuhan bahwa kuda ini sudah kembali dan sekaligus membawa seekor kuda betina liar. Dan jangan mengatakan bahwa ini merupakan suatu keberuntungan sebab kita tidak mengetahui apa-apa mengenai masa depan atau hari esok, karena bisa saja keberuntungan yang kamu katakan itu berubah menjadi malapetaka.”
Besoknya Cheng berkata kepada ayahnya bahwa ia mau menjinakkan kuda liar itu. Ia akan menungganginya dan mengajarkan bagaimana bisa membajak dan membantu pekerjaan di ladang. Baru saja ia naik ke punggung kuda liar ini, ia dilarikan dengan kencang dan tidak jauh dari situ ia dibanting ke tanah sehingga kedua kakinya patah. Para tetangga berdatangan lagi untuk turut menyatakan keprihatinan mereka atas peristiwa ini. Mereka katakan bahwa ini adalah sebuah malapetaka dan ada baiknya kuda betina liar ini diusir saja kembali ke habitatnya. Tapi tuan rumah berkata: ”Sudah 3 kali kamu berkomentar negatif mengenai peristiwa dan musibah yang terjadi dalam keluarga kami. Kamu terlalu banyak berbicara tanpa mengetahui apa yang akan terjadi di kemudian hari. Cukup katakan saja bahwa kuda betina liar ini sudah mematahkan kedua kaki anak kami. Hanya Tuhan yang tau masa depan. Malapetaka yang kamu katakan itu bisa saja menjadi keberuntungan, tetapi saya sendiri tidak berani mengatakannya sebab saya tidak mengetahui maksud dan isi hati Tuhan.” Para tetangga pulang dengan bersungut-sungut dan mengucapkan kata-kata penuh sumpah serapah terhadap si tuan rumah. Mereka kesal karena telah memberikan nasehat dan pendapat yang mereka anggap tepat untuk keluarga tersebut tapi disia-siakan.
  Sebulan kemudian Pemerintah Mongolia mengeluar-kan pengumuman bahwa semua laki-laki yang belum berkeluarga harus mendaftarkan diri untuk ikut dalam wajib militer karena pecahnya perang antara Mongolia dan Cina. Komandan pasukan datang ke desa ini dan mengangkut semua pemuda ke medan pertempuran, kecuali Cheng yang lagi sakit karena kedua kakinya patah. Tentara Cina terlalu kuat. Mongolia dipukul mundur dan seluruh pemuda desa ini mati dalam pertempuran. Para tetangga berdatangan dengan ratap tangis ke rumah orangtua ini dan berkata: ”Anda benar. Tuhan tau bahwa anda benar. Bukti demi bukti menyatakan bahwa malapetaka yang datang di keluargamu ini merupakan berkat. Kedua kaki Cheng memang sudah patah namun pun demikian ia masih hidup. Anak-anak kami semua telah tiada.” Mereka menangis meraung-raung.
Kemudian orangtua ini berkata: ”Memang sulit menjelaskannya kepada kalian. Kamu semua terlalu cepat mengambil kesimpulan. Tidak ada seorang pun yang tau apa yang akan terjadi bahkan yang ada dalam hati dan pikiran orang lain. Jangan secepatnya menghakimi, menuduh dan menuding. Cukup katakan bahwa anak-anakmu pergi berperang dan meninggal dunia di medan pertempuran. Cheng tidak turut diangkut karena ia sakit. Tidak seorang pun tau apakah ini suatu berkat atau kutuk. Tidak seorangpun yang cukup bijaksana untuk berkomentar. Hanya Tuhan saja yang tau.” (In the Eye of the Storm by Max Lucado, Word Publishing, 1991).
Dunia medis mengenal istilah dan kutipan berikut ini: Jangan cari penyakit. Jangan bikin penyakit. Jangan kira tidak ada penyakit. Jangan pelihara penyakit. Jangan tebar penyakit. Jangan anggap enteng penyakit. Jangan main-main dengan penyakit. Jangan sok aksi kebal penyakit.
 Gantikan kata “penyakit” dengan kata “perkara”. Jangan cari perkara. Jangan bikin perkara. Jangan kira tidak ada perkara. Jangan pelihara perkara. Jangan tebar perkara. Jangan anggap enteng perkara. Jangan main-main dengan perkara. Jangan sok aksi kebal perkara.
 Kemudian ganti kata ”perkara” dengan kata ”dosa”. Jangan cari dosa. Jangan bikin dosa. Jangan kira tidak ada dosa. Jangan pelihara dosa. Jangan tebar dosa. Jangan anggap enteng dosa. Jangan main-main dengan dosa. Jangan sok aksi kebal dosa.
  Penyakit, perkara dan dosa tidak perlu dipupuk, disiram atau diberi hati. Ketiga hal ini tumbuh subur di tengah-tengah kita manusia berdosa. Sejak manusia jatuh dalam dosa ketiga unsur ini sudah ada. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, mengerti atau tidak mengerti semuanya telah mendarah daging dalam manusia. Roma 3:10 seperti ada tertulis: “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. 3:11 Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. 3:12 Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak”. Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Yang menuduh dan yang tertuduh. Yang menghakimi dan yang terhakimi. Yang menuding dan yang tertuding. Yang mencari-cari kesalahan orang lain dan yang dicari-cari kesalahannya. Tidak ada yang benar, seorang pun tidak.
  F. B. Meyer pernah mengatakan bahwa ketika kita melihat seorang saudara lelaki atau wanita berbuat dosa, 3 hal penting perlu diingat: (1) Kita tidak tau betapa berat dan sulitnya pergumulan saudara tersebut dalam usaha untuk hidup tanpa dosa. (2) Kita tidak tau berapa besar kuasa kegelapan yang menyerang saudara kita tersebut. (3) Kita juga tidak tahu apa yang akan kita buat kalau kita mengalami keadaan yang sama. (Stephen Brown, Christianity Today, April 5, 1993, p. 17)
Kalau ada orang yang menuduh, menghakimi dan menuding anda apakah dengan kata-kata kasar, wajah cemberut, dan hati miring, coba ambil positifnya saja. Langsung pikirkan hal berikut ini. Ambil tekad untuk berkomentar hanya dalam hati sendiri seperti ini. “Kasihan ya saudara saya ini. Kemungkinan besar sejak dari kecil tidak pernah diajarkan kepadanya kata-kata halus, manis dan terhormat. Kasihan ya, saudara saya ini sudah terbiasa dengan kekasaran. Kasihan ya, dia ini kemungkinan lagi tertekan dengan dosa sendiri. Dan kasihan ya, mungkin dia lagi kesepian dan perlu seseorang untuk turut berbagi masaalah dengannya. Kasihan ya, mungkin saja kepadanya tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan isi hatinya sehingga sekaranglah saatnya untuk meledak. Bagaimana saya dapat menolong saudara saya tersebut?”
  Jalan keluar dan jalan keselamatan satu-satunya hanyalah Yesus. Roma 7:24 Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? 7:25 Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Ny. Ellen G. White menerangkan dalam bukunya: Alfa dan Omega Jilid V halaman 160, 161 tentang Yesus ketika membersihkan Bait Suci: ”Tidak seorang pun dengan kuasa dirinya sendiri dapat membuang kuasa kejahatan yang telah menguasai hatinya. Hanya Kristus yang dapat membersihkan bait suci jiwa…… Kristus melihat orang-orang yang melarikan diri itu dengan rasa kasihan yang amat sangat atas ketakutan dan kebodohan mereka tentang apa yang merupakan perbaktian yang benar. Dalam peristiwa ini dilihat-Nya secara lambang tercerai-berainya seluruh bangsa Yahudi karena kejahatan dan pendurhakaan mereka.”

Syaloom dan Tuhan kiranya memberkati.