Ketika masih berada di gereja pada sabat siang (13/9/2014) menerima makanan rohani dan badani, ketika pikiran fokus pada harta surgawi, tiba-tiba kegaduhan itu datang. Warga dihebohkan dengan kebakaran hebat di daerah Cililitan, Jakarta Timur. Lebih 150 rumah termasuk 10 rumah anggota gereja kita hangus terbakar. 1000an orang kehilangan tempat tinggal. Harta benda yang sudah didapat selama puluhan tahun hilang lenyap begitu saja. Di saat-saat seperti ini sebuah pertanyaan muncul, “Mengapa Tuhan mengizinkan penderitaan seperti ini terjadi ?” Untuk menjawab itu, pertama-tama kita harus mencari tahu arti dari penderitaan itu. Secara sedernaha definisi dari penderitaan adalah segala sesuatu yang menyakitkan.
Penderitaan bisa saja kanker atau sakit tenggorokan. Itu juga bisa sebuah penyakit atau kematian seseorang yang sangat kita cintai. Penderitaan juga bisa dalam bentuk sebuah kekecewaan di tempat kerja atau di sekolah. Bahkan penderitaan bisa dalam bentuk gossip yang sementara tersirkulasi di dalam jemaat anda, yang sementara mempermalukan anda dan membawa duka dan kecemasan. Bahkan penderitaan bisa saja sebuah gigitan nyamuk atau perasaan ketika harus berhadapan dengan singa-singa seperti pengalaman Daniel (lihat Daniel 6).
Menurut Alkitab ada beberapa penyebab penderitaan. Pertama kita menderita karena kita hidup dalam dunia yang telah jatuh kedalam dosa, dimana dosa itu hidup dalam hati setiap orang. Kedua, kita menderita karena kebodohan kita sendiri. Buktinya kita menyabit apa yang kita tuai (Gal. 6:7-9). Ketiga, kadangkala kita menderita karena teguran disiplin dari Tuhan (Ibr. 12:6). Dan yang terakhir, kita mungkin bisa menderita penganiayaan karena iman yang kita miliki (2 Tim. 3:12). Banyak orang yang akan menentang kita ketikia kita berdiri teguh mempertahankan iman kita.
Tentunya penyebab-penyebab ini tidak akan terjadi dalam satu kali saja. Semua penderitaan, tentu bukan karena sebuah produk dari kebodohan kita, atau dosa. Namun, biasanya penderitaan mengungkapkan salah satu kebutuhan kita, atau kekurangan kita, bahkan sikap-sikap yang perlu dipoles seperti sampah dalam proses pemurnian emas (lihat 1 Pet. 1:6-7).
Alkitab memberikan banyak perhatian terhadap realitas penderitaan. Dengan jelas Alkitab tidak menganggap penderitaan sebagai suatu ilusi seperti beberapa agama dan sekte lain lakukan. Salah satu buku yang lebih dalam Alkitab, yaitu buku Ayub, ditulis untuk mengokohkan pertanyaan ini. Buku Yeremia dan Habakuk juga banyak berbicara tentang penderitaan. Sepertiga dari Mazmur, doa-doa Perjanjian Lama, adalah tangisan yang timbul dari keraguan, kekecewaan, atau karena kesakitan.
Perjanjian Baru juga memiliki beberapa bagian signifikan yang mencatat mengenai penderitaan. Dalam konteks Pernjanjian Baru kita tidak akan temukan pertanyaan seperti yang di temukan di Perjanjian Lama seperti, “Apakah Tuhan peduli? Apakah dia lupa untuk berbelas kasihan?” Ada sukacita, keyakinan dan harapan di sini bahwa bahkan penderitaan sebesar apapun tidak bisa kuasai kita. Sebuah perubahan dramatis telah terjadi. Dalam Perjanjian Baru, Tuhan memiliki wajah, tidak seperti dalam Perjanjian Lama. DiriNya dikenal dalam pribadi Yesus Kristus.
Tuhan memilih untuk berbaur dengan sejarah manusia melalui Yesus Kristus. Dia terlahir dalam sebuah kandang. Ketika berumur satu atau dua tahun orangtuanya membawa dia ke Mesir untuk menghindari pembataian anak-anak kecil oleh Raja Herodes pembunuhan. Dia bertumbuh di negeri asing, tanpa dikenal banyak orang. Bahkan dia akhirnya menjadi seorang tukang kayu seperti ayahnya. Dia seorang yang miskin, bergantung pada dukungan orang lain dalam pelayanannya.
Sepanjang pelayanan-Nya ia dituduh sebagai orang gila, pemabuk, penipu, setan atau kerasukan setan, teman pelacur, pemungut cukai dan orang berdosa. Ia dikucilkan dari rumah ibadat dan beberapa kali diancam akan dilempari batu. Di kampong halamannya sendiri, mereka berusaha untuk untuk melemparkan Dia dari tebing.
Akhirnya ia dikhianati, ditinggalkan oleh teman-temannya, menderita cambukan yang paling sakit, dan dipakukan di kayu salib di depan banyak orang. Dia digambarkan dalam Alkitab sebagai “seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina,” (Yesaya 53:3). Jika Yesus adalah Tuhan yang telah kita lihat melalui gambaran Perjanjian Lama dan Perjanjian baru, saya pasti Tuhan tahu sangat mengerti tentang penderitaan.
Tuhan pasti tidak tinggal diam ketika melihat penderitaan-penderitaan yang dialami umat manusia. Teristimewa penderitaan yang disebabkan bencana-bencana alam dewasa ini. Sehingga di saat-saat seperti ini, kita tertantang untuk terlibat dalam meringankan penderitaan-penderitaan para korban bencana alam. Sejauh manakah kita bisa membantu dalam meringankan beban mereka?
Sungguh sesuatu yang indah jika ketika suatu saat kita hidup di dunia baru, dimana tidak akan ada penderitaan… “maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita” (Wahyu 21:4).
Saya rindu mau ke sana, maukah anda?