“Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku yang jika ia berbuat dosa terhadap aku?” Matius 18 : 21
Di laga Piala Dunia 2014 yang sementara ini sedang berlangsung di Brazil banyak kita dibuat berdecak kagum dengan penampilan gemilang para pemain dari 32 negara peserta. Ada kejadian dan peristiwa yang sangat heboh yaitu tentang seorang penyerang Uruguay, Luis Suarez. Topskorer Liga Primer Inggris musim lalu ini melayangkan permintaan maaf lewat surat dalam bahasa Inggris dan Spanyol yang ia sertakan dalam akun twitternya. Bintang Liverpool ini telah dijatuhi hukuman berat oleh FIFA, yakni harus absen dari segala kegiatan sepakbola selama empat bulan, ditambah dengan di skors sembilan laga di kompetisi internasional plus denda 80.000 euro. Akhirnya dalam tulisan di akun twitternya mengatakan: “Saya minta maaf kepada Giorgio Chiellini dan seluruh keluarga besar sepak bola. Saya juga bersumpah kepada publik bahwa saya tidak akan pernah melakukan hal ini (menggigit) lagi”. Dia tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan jawaban Chiellini, bek Juventus, Italia itu langsung membalas pernyataan Suarez juga dalam akun twitternya: “Itu semua (peristiwa penggigitan) sudah dilupakan. Saya harap FIFA akan mengurangi sanksi yang diberikan kepada Anda,” kicaunya di twitter.
Kata Maaf sangat sulit terucap dari mulut kita saat kita melakukan kesalahan yang membuat orang tersayang atau orang lain merasa kecewa, menjadi tersakiti dan kemudian menimbulkan luka batin yang dalam, entah itu karena perilaku kita juga perkataan kita. Biasanya untuk menemukan proses rekonsiliasi, hal utama yang dilakukan adalah meminta maaf dan memperbaiki hubungan yang sudah rusak karena kesalahan yang dibuat. Bagi si pembuat kesalahan, meminta maaf adalah hal yang mudah untuk dilakukan. Meminta maaf dan memaafkan mungkin bisa dilakukan dalam waktu singkat. Tapi melupakan kesalahan, biasanya jarang di lakukan. Padahal untuk mewujudkan rekonsiliasi yang sejati, memaafkan dan melupakan kesalahan adalah dua hal yang harus berjalan bersama. Tanpa proses mau melupakan kesalahan, tak mungkin ada proses rekonsiliasi yang sempurna.
”Permintaan maaf itu ampuh. Tindakan itu menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, memperbaiki perpecahan antarbangsa, memungkinkan pemerintah mengenali penderitaan rakyatnya, dan memulihkan keseimbangan dalam hubungan pribadi.” Demikianlah tulis Deborah Tannen, seorang pengarang buku terlaris dan sosiolinguis di Georgetown University di Washington, DC.
Dalam buku Alkitab meneguhkan bahwa permintaan maaf yang tulus sering kali merupakan cara yang efektif untuk memperbaiki hubungan yang rusak. Misalnya, dalam perumpamaan Yesus tentang anak yang hilang, sewaktu anak itu pulang dan menyampaikan permintaan maaf yang sepenuh hati, ayahnya siap untuk menerimanya kembali ke rumah, dan ayahnya memberikan pengampunan maaf dengan tak di-ingat2 lagi yaitu melupakannya. (Lukas 15:17-24) . Seseorang hendaknya tidak pernah menjadi terlalu sombong untuk menyingkirkan gengsinya, lalu meminta maaf, dan mencari pengampunan. Tentu saja, bagi orang yang benar-benar rendah hati, meminta maaf bukanlah hal yang terlalu sulit untuk dilakukan.
Saya percaya, esok sudah tidak boleh mengubah apa yang berlaku hari ini, tetapi hari ini masih boleh mengubah apa yang akan terjadi pada hari esok.
Mari belajar bukan hanya sekedar bisa meminta maaf, memaafkan kesalahan orang lain. Tapi juga belajar melupakan semua kesalahan yang terjadi. Dengan demikian, kasih yang sejati akan lebih mudah diberlakukan dalam hidup kita.