Minggu yang akan segera lewat ini diawali dan diakhiri dengan pertunjukkan yang sungguh menarik perhatian. Jutaan pasang mata tertuju pada Debat Pemilihan Presiden Minggu malam dan pada partai pembuka Piala Dunia Jumat dini hari. Sebagaimana diharapkan banyak orang, dalam kurun waktu sekitar dua bulan ini, mata dan telinga kita akan dipuaskan dengan berbagai tontonan seru yang boleh dikata membangkitkan semangat juga menggairahkan. Namun sesungguhnya, bukanlah mata atau telinga semata yang dipuaskan, tetapi di hati kitalah makna dari berbagai pertunjukkan ini terolah. Hasrat untuk mau menjadi bagian di dalam berbagai fenomena dunia sebenarnya berawal dari kecendrungan hati. Apa yang diperoleh nanti, juga berpulang ke hati. Seorang negarawan terkemuka dunia, Raja Salomo sampai mengatakan, “jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan karena di situlah terpancar kehidupan”.
Tulisan ini tidak menelusuri ihwalnya pemerintahan demokrasi atau kontes olahraga dunia hingga menjadi seperti sekarang ini, tetapi memberi paparan bahwa sebenarnya ajang demi ajang yang kita lakoni ini menunjukkkan pada bagaimana sejatinya kecendrungan manusia yang mau mendapatkan kenikmatan dan kegembiraan lewat berbagai hal dan cara. Dalam usaha memperoleh kebahagiaan, tak dipungkiri banyak kali kita lupa bahwa kita sedang berada di antara orang lain yang juga mengusahakan hal yang sama. Kondisi inilah yang sering menimbulkan gesekan dan bermuara pada perseteruan di dalam masyarakat yang berbangsa dan bernegara. Dalam usaha memenangkan kenikmatan bagi diri, keluarga maupun komunitas sendiri, kita sering lupa tentang kebahagiaan orang, keluarga maupun komunitas lain yang mengusahakan hal yang sama.
Terkait tuntunanNya bagi umatnya dalam melakoni peri kehidupan ini, Allah memerintahkan: “Kasihilah seorang akan yang lain”.
Bagi pengikut Kristus, sudah jelas bahwa mengasihi itu berarti bersabar, bermurah hati, tidak mencemburui sesama dan seterusnya sebagaimana dituliskan Rasul Paulus dalam kitab 1 Korintus 13. Namun kenapa masih ada perselisihan dan saling melukai bahkan di antara para pengikut Kristus sendiri, tentunya bukan karena pilihan hati yang tidak mau mengasihi. Sudah pasti umat Kristen itu mengasihi karena namanya juga pengikut Kristus.
Tetapi, mungkin saja tindakan mengasihi orang lain itu hanya ketika mereka tidak mengganggu kebahagiaan kita. Kita mengasihi teman selama itu masih dalam batas-batas kewajaran yang dapat diterima akal sehat dan sesuai dengan aturan main kita. Begitu zona itu terlewati, maka hal sebaliknyalah yang terjadi; menyakiti, memfitnah atau membalas melukai. Pada titik ini dapat dikatakan bahwa kita mengasihi belum sepenuhnya. Belum lagi bila mengikuti aturan main Yesus “kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Sungguh kadar kasih seperti ini tidak masuk hitungan.
Lalu sampai di manakah titik kepenuhan hati itu dapat diraih seorang manusia yang sudah hancur dengan dosa. Apakah datang ke gereja tepat waktu, berkhotbah, melayani orang lain bahkan menghabiskan waktu melawat di hari Sabat sampai kelelahan serta sejumlah perbuatan baik lainnya belum memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai tindakan sepenuh hati?
Tentu saja jawabnya: belum; bila kita masih tidak sabar atau tidak senang pada kebahagiaan orang lain. Mengasihi sepenuh hati berarti bila kita melakukannya dengan kerelaan, tanpa paksaan sama sekali, tanpa ada kebencian dalam berbagai aspek hidup. Kita hanya dapat melakukannya bila telah tiba pada poin: menganggap orang lain lebih utama daripada diri kita sendiri. Pada poin ini kita telah mampu bahagia melihat orang lain senang walau posisi kita sebaliknya. Sanggupkah?
Tentu saja kita mampu karena Kristus memberikan jaminan bahwa di dalam Dia kita dimampukan. Asas yang Tuhan berikan, “Apapun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia”. Inilah resep hidup antar sesama yang Paulus bagikan bagi jemaat di Kolose.
Ketika kita melakukan sesuatu, seperti kita melakukannya untuk Tuhan dan bukan untuk manusia; kita pasti akan dimampukan bersabar, bermurah hati, tidak mencemburui, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri serta berbagai hal lain yang dikehendaki Allah. Pada poin inilah kasih itu menjadi penuh. Kita disanggupkan karena Allah hadir. Dia memenuhi hati. Di dalam Dia kita pasti mampu mengasihi sepenuh hati.
Pada beberapa hari ke depan dengan berbagai peristiwa dengan perbedaan pandangan politik dan poin kesenangan; apapun yang kita temui dan jalani, lakukanlah itu dengan hati, sepenuhnya. Menonton bola dan debat capres serta tugas lainnya, perlu dilakukan dari hati dan dengan hati, sepenuh hati; di mana Kasih Yang Sempurna hadir di sana.
Tidak ada resep lain untuk tatanan hidup yang sempurna selain mengasihi. Mengasihi merupakan dasar pemerintahan surga. Melakukannya sama saja menghadirkan suasana surga di dunia yang fana. Hanya ketika Kristus dijadikan pemimpin pemerintahan di dalam hati, maka mengasihi sepenuh hati -sebuah bentuk kesatuan pikiran, perasaan, jiwa dan tindakan- menjadi sebuah keniscayaan.
”Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahteraKu Kuberikan kepadamu dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Jangan gelisah dan gentar hatimu,” kata Yesus.
Oleh: Ellen G.Y Manueke