HARAM DAN HALAL

TEORI-TEORI MENGENAI HARAM-HALAL DAN ASAL USUL DAN SIFAT ALAMI PRAKTEK INI

E. Rasional Seremonial dan Kultus
Gagasan utama di belakang teori ini adalah bahwa pembedaan halal dan haram dan penggunaan masing-masing mereka yaitu asal-usul hukum-hukumnya sebagai hukum-hukum seremonial dan terekait secar khusus dengan praktek-praktek penyembahan kultus kekafiran yang berasal dari Israel kuno. Karena orang Kristen, hukum-hukum upacara kultus ini tidak lagi berguna dan dengan demikian hukum-hukum pembedaan antara haram dan halal tidak lagi bekerja atau berlaku. Hukum-hukum diet makanan tersebut bersifat patuh kepada fungsi dan makanan upacara seremonialnya. Bagian gagasan di belakang teori ini diturunkan dari fakta bahwa di dalam Imamat 11-15 sebuah bagian pertimbangan terhadap gambaran antara pembedaan semua tipe baik tipe kebersihan maupun ketidakbersihan. Haruslah berlaku apakah seseorang pantas untuk beribadah di tabernakel/kaabah, karena kaitan-kaitan kultus dengan tipe pengalaman ini.
Di dalam makalah-makalah penelitian mereka, Van Bemmelen dan Fisher keduanya telah menaruh bersama sejumlah argumen mana yang menunjukkan bahwa hukum-hukum ini tidak benar-benar kultus di dalam keseluruhan hukum-hukum tersebut. Ini bukanlah menolak beberapa kaitan kultusnya, tetapi ini bukanlah oleh arti-arti apapun penjelasan menyeluruh bagi hukum-hukum ini. Argumen-argumen ini mencakup beberapa poin sebagai berikut:

  1. Ulangan 14, perikop paralel dengan Imamat 11 pada pokok bahasan haram dan halal, bukan terkait dengan kultus. Ada kealpaan dari konsekwensi-konsekwensi kultus penyembahan di sini. Penekanannya adalah hanyalah kepada makanan saja. Tidak menyebutkan kurban yang dibuat di sana. Sebagai tambahan, baik di dalam Imamat 11 maupun Ulangan 14 konteks sesungguhnya adalah kesucian secara lebih luas, bukan saja kelayakan upacara. Kesucian ini meluas ke dalam bidang-bidang mahkluk manusia, bukan hanya penyembahannya di dalam kultus kekafiran.
  2. Diberikan referensi-referensi kepada hewan-hewan haram dan halal kembali kepada zaman yang seawal dengan zaman Nuh di dalam kejadian7:1, pembedaan ini terjadi lebih dahulu dari pada zaman Musa ketika hukum-hukum ini secara lebih khusus digambarkan. Alasan mengapa jenis aturan ini tidak diberikan lebih awal sebelum masa Air Bah yang bukan merupakan tipe makanan daging yang diijikan Tuhan Allah di dalam diet makanan manusia sebelum masa itu.
  3. Keharaman hewan-hewan adalah permanen. Tidak ada proses pemurnian oleh mana hal ini dapat dihilangkan. Ini berasal asli dengan hewan-hewan itu sendiri dan sifat alaminya, itu bukan disebabkan sebuah perubahan di dalam kondisi yang mana dapat dipulihkan kepada keadaan kebersihannya. Dengan demikian bidang keharaman hewan ini adalah di luar fungsi-fungsi upacara seremonialnya.
  4. Walaupun hewan haram itu dibiarkan hidup, namun bukan untuk digunakan sebagai makanan atau sebagai kurban, tetapi itu dapat digunakan untuk pelayanan sebagai hewan peliharaan saja, seperti unta, atau keledai, dan tidak ada kebersihan sebagai hasil dari menjamahnya.
  5. Baik hukum-hukum Imamat 11 dan Ulangan 14 mengatakan bahwa hewan yang dapat dimakan dan hewan yang tidak dapat dimakan, tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa di dalam tempat mengenai apakah mereka dapat digunakan atau tidak dapat digunakan di dalam kultus kurban. Satu-satunya yang berasal dari bagian lain dari Alkitab yang kita pelajari bahwa hewan-hewan haram tidak digunakan untuk kurban.
  6. Pembedaan ini gagal untuk menjelaskan mengapa beberapa hewan halal tidak digunakan untuk kurban. Jika pembedaan antara halal dan haram adalah pembedaan antara penggunaan non pemakaian hewan-hewan secara kultus maka seharusnya dan beberapa alasan lainya mengapa semua hewan-hewan halal tidak digunakan secara kultus. Bahwa ini mungkin bukanlah kasus yang menunjukkan bahwa pembedaan ini adalah alasan mengapa mereka digunakan atau tidak digunakan di dalam cara ini.
  7. Teori ini muncul untuk menaruh kereta di hadapan kuda. Hewan-hewan itu ditentukan pertama menjadi tidak halal atau haram dan mereka digunakan sesuai dengan kultus penyembahan. Menurut teori ini bahwa inilah aturan Alkitab yang wajar akan hal-hal ini. Teori ini memajukan gagasan bahwa hewan-hewan tertentu dipilih pertama penggunaannya di dalam kultus dan mereka menjadi halal dengan cara demikian sementara hewan-hewan lain itu tidak harus digunakan di dalam kultus yang kemudian dikelompokkan sebagai hewan haram.
    Sementara ini agak benar bahwa ada arahan dan kaitan-kaitan kultus berbeda antara hewan-hewan haram dan halal dan operasi fungsi seremoialnya di dalam kultus, ini tidak muncul untuk menyediakan sebuah penjelasan menyeluruh bagi alasan mengapa hewan-hewan ini dipisahkan dan dibedakan di dalam cara ini. Dua faktor sedang menuju ke sini di dalam cara yang sama. Faktor yang satu adalah memakan hewan-hewan, dan faktor yang lainnya adalah mengorbankan hewan-hewan tersebut. Ada tiga kemungkinan di sini bahwa A adalah alasan untuk B, atau B itu adalah alasan untuk A, atau kedua-duanya kembali kepada sumber yang umum tercakup di dalam hakekat paling mendasar sifat alami hewan tersebut. Sementara yang satunya lebih bergantung kepada pertimbangan-pertimbangan teroritis di sini dari pada pernyataan–pernyataan eksplisit terhadap ayat tersebut, sumber umum teori tersebut mungkin secara puncak membuktikan untuk menjadi paling beralasan.

G. Rasional Kejiwaan dan Kejijikan
Beberapa komentator menyebutkan alasan-alasan kejiwaan untuk tidak suka pada sesuatu yang bersifat alami sebagai prinsip di belakang larangan mengenai daging haram. Pembedaan antara haram dan halal didasarkan pada reaksi alami melawan hewan-hewan burung-burung alami yang pemangsa yang oleh karena itu dilarang ke atas alasan-alasan estetis (= berkaitan dengan apresiasi terhadap seni keindahan). Menurut pandangan ini, pilihan budaya menjadi faktor yang menentukan. Asal mula ilahi dari perundang-undangan ini sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat tersebut berada pada langkah sepihak. Di dalam tempatnya alasan yang diberikan bahwa, “hewan-hewan yang dilarang tidak muncul terlalu menyusahkan atau melahirkan semangat kekejaman di dalam mereka yang memakanya.” –J. D. Douglas, ed., The IllustratedBible Dictionary, 1980, p. 301. Sementara sejumlah hewan haram adalah pemangsa atau hewan buas yang berbahaya (pemakan hewan lain), yang lainnya bukan pemangsa (predator), kriteria untuk pembedaan antara hewan-hewan tersebut menjadi agak sedikit sewenang-wenang dan tidak konsisten. Itu juga meragukan bahwa manusia purba sudah harus akan prihatin mengenai nilai-nilai estetis memakan satu hewan dan bukan untuk hewan yang lain sebagaimana manusia pintar modern dapat lakukan.

H. Pandangan Anthropologis Persesuaian dengan Normalitas
Sebuah pandangan yang diajukan oleh anthropolog bernama Mary Douglas (Purity and Danger, 1966) and diterima oleh dua kommentator (G. J. Wenham, NICOT, dan J. R. Porter, Cambridge Bible Commentary), didasarkan pada definisi kesucian. Menurut definisi ini, kesucian (dan oleh karena kesucian) mencakup buah pikiran keseluruhan dan normalitas, persesuaian kepada standard dan tipe pemurnian di dalam alam ciptaan-seseorang ke mana contoh-contoh dimiliki pada saat Penciptaan. Di dalam kasus hewan-hewan ini, hewan halal adalah “spesimen sempurna dari kategori makkluk hidup itu ke mana seseorang memilikinya.” Demikian juga, ciptaan tertentu yang nampaknya menyimpang dari sifat alaminya yang wajar atau lingkungan yang wajar oleh karena kurang sempurna dan dengan itu dinyatakan ‘haram.’”-Douglas, p. 55, Porter, p. 84. Douglas hendak melanjutkan secara khusus bahwa semua hewan yang haram adalah anggota-anggota yang tidak sempurna terhadap kelas mereka atau kelas itu sendiri yang mengacaukan skema umum dari dunia.
Teori ini, juga, memiliki kekurangan-kekurangan. Pertama, tidak ada pembedaan secara Alkitabiah antara anggota-anggota sempurna dan yang tidak sempurna dari hewan-hewan halal atau kelompok hewan haram. Kedua, itu tidak mengindikasikan mengapa spesies-spesies “murni” yang khusus adalah halal (bandingkan domba dan lembu) dan spesies-spesies lainnya (bandingkan unta dan kuda yang tidak “murni.” Tambahan lagi, konsep dari kesucian mungkin memiliki jarak cakupan lebih luas penggunaanya dari pada ditempatkan di dalam kasus ini, sejauh penggunaan secara Alkitabiahnya diperhatikan.
I. Rasional Etika-Moral
Di dalam kasus ini pembedaan antara hewan-hewan halal dan haram itu dipikirkan untuk mengajarkan kepada kita sebuah pelajaran moral. Gagasan ini kembali ke belakang yakni pada zaman seawal dengan Surat Aristeas dan itu sudah didukung komentator di abad pertengahan bernama Mimonides yang mencatat, “peraturan-peraturan ini dimaksud untuk melatih kita di dalam menguasai hawa hafsu-hawa nafsu kita, mereka membiasakan kita menahan diri dari pertumbuhan hawa nafsu dan watak untuk berpikir terhadap kepuasan nafsu terhadap makan sebagai akhir dari eksistensi manusia.” -Encyclopedia Judaica, 6:43. Maimonides juga, pada saat yang sama, beranggapan bahwa “hukum-hukum tersebut juga bersifat hygienis dan berorientasi kesehatan. Gagasan moral dan dimensi etika ini sudah menerima penerimaan luas secara hampir baik di zaman modern. Beberapa dari hal ini telah ditarik dari penghormatan khidmat untuk gagasan kehidupan. Terhadap semua dari teori-teori ini, hanya satu yang bersifat etika yang pantas terbaik dengan fakta-fakta tersebut, mengajarkan kehikmatan bagi kehidupan melalui akses terlarang kepada kehidupan binatang sebagai makanan.” Stern, pp. 320-321. Seseorang dapat, tentunya memperluas gagasan ini untuk menjadi vegetarian malahan lebih logis lagi.
Masalah dengan etika motivasi yaitu bahwa itu tidak benar-benar menjelaskan mengapa hewan-hewan dibagi secara pasti di dalam mode sebagai mana yang kita temukan di dalam Alkitab. Mengapa sebagai contoh, apakah unta haram dari sudut pandang etika? Atau mengapa hal itu lebih manusiawi suatu penyembelihan seekor lembu dari pada seekor keledai? Milgrom berbicara terhadap kesewenang-wenangan yang nampak dari larangan-larangan makanan tertentu saja, “ dan ia mengakui, “di sinilah kita menapaki pada dasar yang tidak mudah.” “Untuk mencapai sumber-sumber di belakang Alkitab dan menjejaki kembali masing-masing larangan makanan kepada asal-usunya yang terpisah” adalah penugasan mata-mata,” yang mana “tidak dapat dipenuhi. Jejak-jejak tersebut hilang sendirinya di dalam pasir waktu yang tak tercatat.”- J. Milgrom, Interpretation, 17, 1963, p. 294. Jenis pandangan ini mewakili sebuah penafsiran terhadap sumber-sumber sastra yang mana tidak serasi dengan pernyataan-pernyataan Alkitab itu sendiri. Meskipun seseorang memecahkan persoalan kepuasan sarjana kritik-sejarah, tekanan dan pertentangan antara tipe hewan-hewan berbeda yang disembelih untuk dimakan dan bukan untuk disembelih untuk tetap dibiarkan masih tersisa, oleh karena itu rasional ini tidaklah memadai untuk menjelaskan data Alkitab berkaitan dengan makanan halal dan haram.

J. Rasional Hygienis/Kesehatan Masyarakat
Melalui proses pembersihan kita sudah tiba pada teori akhir sebagai penjelasan yang nampaknya paling jelas untuk hukum-hukum kesehatan di Alkitab mengenai diet makanan. Pada dasar ini disarankan bahwa alasan pembedaan hewan-hewan halal dan haram harus dilakukan dengan kelayakan atau ketidaklayakan mereka bagi makanan manusia. Pandangan ini sudah memiliki banyak penyokong yang kuat dan penentang-penentang baik di kalangan Yahudi maupun di kalangan Kristen. Sejumlah alasan boleh diajukan mengapa rasional ini nampaknya menjadi penjelasan yang sangat memadai untuk hukum-hukum kesehatan ini:

  1. Penekanan untuk hokum ini ditemukan di dalam Imamat 11 dan di Ulangan 14 adalah secara yang bukan makanan dan makanan, yang menyarankan bahwa pembedaan tersebut dibuat terkait dengan akibat-akibat yang dihasilkan dari makanan dan yang bukan makanan.
  2. Saran sudah dibuat bahwa hewan-hewan halal lebih baik untuk menjadi makanan dari pada hewan-hewan haram. Sudah dicatat di atas bahwa hewan-hewan pemangsa dan tipe hewan-hewan (buas) pemakan sesama hewan secara umum lebih jatuh di dalam kelompok hewan haram. Ini meluas dari kelas-kelas singa ke hewan kelas burung hering, ke tipe ikan pengisap di bawah dasar air. Memikirkan tipe ikan ini yang mereka sendiri mungkin menelan atau menyerap mangsanya, mereka hendak membuat lebih banyak saluran pipa untuk menghentarkan penyakit. Waktu dan ruang mencegah untuk menuju pokok bahasan ini dari sudut pandang keilmuan, tetapi beberapa artikel populer dari suatu periode yang lebih tua mungkin disebutkan di sini sementara menunggu waktu penyelidikan yang lebih baru dari pokok bahsan ini dari sudut pandang keilmuan:
    a. D. I. Macht, “A Scientific Appreciation of Leviticus 11 and Deuteronomy 14,” Ministry 26 (Sept 1953): 26-28.
    b. L. E. Harris, F. L. Marsh, and E. S. Booth, “The Question of Clean and Unclean Meats,” Ministry 27 (March 1954): 37-38 (satu tanggapan kepada artikel tersebut oleh Macht).
  3. Sejumlah hewan-hewan haram sudah menunjukkan menjadi para pengantar penyakit yang berbahaya, baik bakteri dan parasit. Sebagai contoh, tikus-tikus pembawa kutu-kutu yang adalah pengantar untuk bakteri pasturella pestis, yang merupakan agen peneyebab wabah penyakit pes. Hal ini, tentunya tidak berarti bahwa seseorang akan menderita penyakit pes dari memakan seekor tikus yang merupakan pengantar bakteri yang dimaksud, tetapi itu berarti bahwa seseorang dapat terkontaminasi oleh penyakit melalui memegang jenis tikus itu. Belum ada usaha sudah dibuat di sini untuk mengukur penyelidikan ini. Itu hanya dapat dibuat saat tikus itu sudah mati. Pokok bahasan ini, ditambah dengan yang terdahulu, hendak membuat topik bahasan yang cocok untuk sebuah makalah penyelidikan independen berkisar pada pokok bahasan ini.
    Walaupun sejumlah pertanyaan dan masalah masih tetap berlaku di bidang ini, ada teori yang muncul baru-baru ini untuk menghitung data yang lebih baik dari pada teori-teori yang didiskusikan di atas. Itu juga selaras dengan definisi yang lebih luas dan penggunaan konsep Alkitab tentang kesucian, konsep yang meluas bahkan kepada daerah fisik manusia yang alami. Milgrom mencatat hubungan antara kesucian dan pertarakan dari hewan daging haram di dalam cara ini: “ini mengagungkan konsep kesucian yang diberikan sebagai alasan untuk larangan-larangan ini di dalam empat sumber di mana makanan-makanan yang dilarang disebutkan satu persatu (Kel. 22:30; Im. 11 :44 ayat perbandingan.; 20:22-26; Ulangan 14:21).” Ia juga mencatat bahwa “beberapa ketetapan individu secara relatif dari Alkitab dipasangkan dengan tuntutan kesucian. Dan tidak ada dari ketetapan-ketetapan ini yang menekankan bunyi irama dan pengulangan yang sama sebagaimana yang dilakukan terhadap pelarangan-pelarangan.” (Milgrom, pp. 29 1-292).
  4. Di dalam kerangka Imamat 11-15, Hukum-Hukum Kesucian, yang berkaitan dengan hewan-hewan haram dan halal, dihubungkan dengan aturan-aturan lain yang memerintah kondisi-kondisi yang memiliki implasi-implikasi yang dapat dikenal hygienis, yakni, kondisi alat kelamin atau kondisi-kondisi lain yang menyebabkan pengeluaran-pengeluaran cairan berlebihan pada genital, dan ukuran-ukuran karantina bagi kondisi-kondisi menular.
    Untuk menyimpulkan teori khusus ini mungkin dapat ditekankan sekali lagi bahwa konsep kesucian ini juga mencakup sebuah panggilan kepada kesehatan fisik, mental maupun rohani. Berdasarkan hubungan ini, “apa yang kita sebut sanitasi/kesehatan lingkungan, Allah memanggil, di dalam pengertian, penyucian fisik…….Semua otoritas moral berlaku sampai di sini, di dalam hal yang dikutuki sebagai perbuatan tak bermoral yang akan menghasilkan secara terus-menerus akibat-akibat fisik terkutuk tersebut.”—T. H. Nelson, The Mosaic Law in the Light of Modern Science, 1926, p. 37. Konsep yang hendak memandang kesehatan dan kesucian ini sebagai bagian dari semua temuan-temuan lebih besar yang sama menyokong dari banyak sumber lainnya. Pemisahan dalam dua bagian antara rohani dan jasmaniah adalah asing bagi Alkitab, khususnya bagi Perjanjian Lama.”-Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible, vol. 1, 1975, p. 884. “Karena bahasa Semit kuno (keluarga bahasa-bahasa Ibrani, Arami dan Funisia)…tidak ada pembedaan tajam dibuat antara jiwa dan tubuh. Seseorang adalah sekedar sebuah tubuh yang hidup. Inilah perasaan dewasa ini.”-Stern, p. 323. “Tubuh adalah perkakas dari tindakan-tindakan jiwa dan kualitas dari tindakan-tindakan ini bergantung pada struktur kepribadian manusia yang, pada gilirannya, dipengaruhi oleh makanannya, tubuh dan jiwanya selama kehidupan manusia di atas bumi saling bergantung dan saling berhubungan.”-I. Grunfeld, The Jewish Dietary Laws, 1972, vol. 2, p. 213
    Bersambung….