Akan kita bahas saat ini adalah tentang “mengatasi bentrokan melalui komunikasi keluarga seperti apa yang tertulis dalam Amsal 20 : 3 yaang bunyinya seperti berikut :”Terhormatlah seseorang, jika ia menjauhi perbantahan, tapi setiap orang bodoh membiarkan amarahnya meledak.” Barangkali kalau saja dunia mau menerima hikmat seperti ini, pasti tidak akan ada konflik dan peperangan di muka bumi ini.
“Menjauhi perbantahan” tidaklah berarti “melarikan diri dari situasi tersebut. Saya kira itu tidak akan menyelesaikan masalah. Misalnya beberapa tumpukkan kayu bakar sedang menyala, kalau kita tarik satu atau dua batang kayunya maka api akan segera berkurang, bahkan mungkin akan mati dengan sendirinya. Tapi hal ini juga berarti bila argumentasi atau mungkin saja sudah akan mewujudkan suatu perdebatan, maka jalan yang paling aman adalah salah seorang harus berusaha menjauhkan diri dari keterlibatan tersebut, agar perbantahan tidak menjadi lebih hangat.
Barangkali yang paling sulit untuk diatas disini pak Nico adalah menguasai emosi kita, kalau sudah terjebak emosi selalu akibatnya akan negatif.
Sebenarnya emosi atau perasaan kita itu tidak terpisah dari otak kita hanya sering kita mengatakan kepada orang lain misalnya ”Oh, dia orang yang tidak punya hati” Jadi sering kita menyangka bahwa “emosi” dan”rasio” kita merupakan dua hal yang sangat berbeda, lalu kemudian kita menganggap hal tersebut memang seperti itu.
Mari kita kembali melihat ayat Amsal 20:3 tadi :”Terhormatlah seseorang, jika ia menjauhi perbantahan, tapi setiap orang bodoh membiarkan amarahnya meledak. Kita melihat ada dua sifat yang menonjol dari sifat manusia ini, yang satu mereka yang menjauhi perbantahan yang kemudian disebut sebagai orang terhormat, dan yang satu lagi yang disebut orang bodoh, karena dia membiarkan amarahnya meledak.
Tempat pengendaliannya dari otak, karena otaklah yang memegang kendali semua tindakan manusia itu. Semua dikendalikan oleh otak, karena mata kita tidak dapat melihat bilamana urat syaraf dari mata ke otak itu putus misalnya, demikian pula tangan kita, jadi yang saya ingin kemukakan bahwa pengendalian emosi ataupun rasio kita, semuanya dari otak yang sama. Alat pengendali perasaan dan tindakan kita demikian juga cara berpikir kita, semuanya berakar pada otak kita.
Satu-satunya bagian tubuh yang dapat mengendalikan emosi kita adalah otak kita sendiri. Jadi untuk mengatasi emosi kita yang cenderung untuk marah, satu-satunya jalan melalui otak kita. Oleh karena itu emosi kita bisa dilatih, dan pelatihan itu tentu dengan melalui alat pengendali yang utama tadi , yakni otak kita.
Dalam Alkitab solusi itu sebenarnya sudah ada, coba kita baca saja 1 Korintus 13 tentang Kasih coba baca ayat 3 dan 4 .
1 Korintus 13 : 3 s/d 5 bunyinya seperti berikut:3) Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.4) Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong (5) Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Kuncinya memang hanya kasih. Bilamana makna kasih dihidupkan tidak akan pernah ada konflik apalagi yang membawa pada kehancuran rumah tangga.
Dr. Nico J.J. Koroh, MBA