Menunggu Janji

Pemilu legislatif di Indonesia b aru saja berakhir namun hiruk pikuk pemilu belum berakhir. Perhitungan suara di tingkat desa baru saja diplenokan hari jumat (11/4) ini dan masih ada 20 propinsi yang pemilunya bermasalah karena belum lengkapnya surat suara atau surat suara yang tertukar. Boleh dibilang pemilu tahun ini tidak dikelola dengan baik sehingga menimbulkan permasalahan yang tidak seharusnya terjadi.

Di balik itu semua sebagian caleg kuatir tidak mencapai kuota suara dan tidak terpilih menjadi salah satu anggota dewan padahal tidak sedikit dana yang sudah dikeluarkan. Bukan hanya dana kampanye namun money politik yang istilah kasarnya uang sogok untuk memilih nilainya tidak kecil. Meskipun sudah adanya ancaman yang tidak ringan dari undang-undang tetapi umumnya para caleg tidak menghiraukan. Serangan fajar dianggap hal biasa dan seperti keharusan. Warga sudah dididik untuk terbiasa dengan ada uang ada suara. Hal ini tercermin ketika Bawaslu Sulut mengundang para caleg untuk deklarasi pemilu jujur dan tanpa money politik tidak digubris para caleg. Dari sekian banyak caleg, hanya dua orang yang menandatangani.

Menjadi seorang anggota dewan betul-betul menjadi sangat mahal bila dinilai dari segi rupiah. Tidak sedikit yang mengeluarkan milyaran rupiah dan tidak sedikit yang stress karena tidak memenuhi kuota suara. Kalaupun akhirnya caleg berhasil menjadi anggota dewan, mereka dituntut untuk membayar janji politiknya.

Ketika masa kampanye, janji-janjipun telah dilontarkan namun sepertinya para pemilih tidak lagi terlalu mempedulikan janji-janji yang sudah menjadi lagu lama “tapi janji tinggal janji” setelah terpilih janji dilupakan. Para pemilih tidak terlalu mempedulikan visi dan misi parpol namun terhadap citra parpol di masa lalu dan karakter pemimpin yang diusung oleh parpol tersebut. Citra elite pemimpin dan kelembagaan partai politik tampaknya menjadi penilaian utama yang semakin diperhitungkan oleh pemilih dalam Pemilu 2014 ini. Ketidakpuasan publik terhadap parpol dan anggota legislatif yang ada ini menjadi peluang bagi parpol-parpol lain untuk merebut suara rakyat. Isu korupsi besar-besaran yang menghantam partai Demokrat membuat sebagian pemilih enggan memilih partai ini sehingga perolehan suaranya terjun bebas.

Secara umum, masyarakat sangat berharap adanya perbaikan ekonomi di masa mendatang yang dapat diperjuangkan oleh parpol. Lebih spesifik lagi lapangan pekerjaan, soal kemiskinan, bantuan kesehatan, atau pendidikan gratis menjadi harapan besar khususnya dari masyarakat kecil yang masih terus bergelut dengan kesulitan ekonomi. Dari kalangan minoritas, isu kebebasan beragama masih merupakan perhatian besar dan menjadi alasan penting kenapa mereka harus menggunakan hak suaranya pada pemilu tahun ini. Harapan yang pernah diserahkan pada penguasa sebelumnya untuk menjamin kebebasan beragama secara nyata tidak menjadi kenyataan. Mendirikan rumah ibadah bukannya menjadi semakin mudah tapi terasa makin sulit dan penutupan rumah ibadah bukannya berkurang tetapi justru semakin menjadi. Kehadiran umat Kristiani di parpol-parpol tertentu bukan menjadi jaminan kepentingan umat Kristiani betul-betul dapat diperjuangkan.

Pada pemilu 2014 ini fenomena politik uang ternyata masih kuat dan bukan hanya untuk kalangan luar tetapi merasuk sampai ke sebagian anggota gereja kita. Meskipun ada arahan untuk memilih caleg seiman namun ternyata itu tidak terlalu berpengaruh pada sebagian kalangan. Sebagai contoh sebuah jemaat di sentra sayur di Sulawesi Utara yang beranggotakan sekitar 200 orang pemilih, sayangnya hanya sekitar 20 persen yang memilih calon seiman, selebihnya adalah orang-orang yang dapat diperjualbelikan bahkan termasuk tua-tua jemaat tertentu. Pemilih diarahkan pihak tertentu memilih yang memberikan bayaran yang lebih banyak. Fenomena ini tidak berlaku di semua tempat tetapi cukup memberikan gambara masih adanya warga termasuk anggota gereja yang tidak mengetahui dampak ke depannya.

Bukan hanya para caleg yang berjanji, namun janji dari kalangan tertentu untuk memilih caleg seiman hanya tinggal janji. Terlepas dari semua itu, menjadi pelajaran bagi kita semua, siapapun kita, entah seorang anggota jemaat biasa ataupun dari kalangan elit tertentu. Adalah lebih baik tidak berjanji daripada lagu lama “janji tinggal janji” terus dinyanyikan. Ketika seorang caleg tertentu terpilih menjadi anggota Dewan, ingat janji anda, sekecil apapun itu harus diperjuangkan.

Oleh : Herschel Najoan