Perbaktian merupakan salah satu acara terpenting di dalam kehidupan umat umat Tuhan. Sayangnya kadang kadang perbaktian telah salah dimengerti sehingga banyak orang datang ke dalam acara perbaktian dengan pemikiran yang salah dan menyebabkan perbaktian tidak lagi menjadi berkat buat semua yang menghadirinya.
Untuk melihat perbaktian dalam konteks sebenarnya kita harus kembali ke dalam pengertian Alkitabiah tentang berbakti. Di dalam perjanjian Lama yang menjadi pusat daripada perbaktian adalah Tuhan, bukan musik, bukan protokoler, bukan orang orang yang menjalaninya. Tuhan merupakan objek utama perbaktian dan tidak ada elemen lain yang bisa menghalangi itu.
Kata berbakti sendiri datang dari bahasa Ibrani “abad” yang artinya melayani. Yang menariknya dari kata ini, abad lebih dari sekedar pelayanan biasa, atau pelayanan di rumah makan atau restoran. Abad mempunyai arti yang lebih dalam dari pada itu. Abad juga berarti “diperbudak” atau “melayani sebagai budak” bilamana kita coba ambil kata ini ke dalam konteks modern apakah perbaktian kita sudah kita lakukan selayaknya seorang budak kepada Tuhan?
Sebagian orang mungkin merasa tidak nyaman dengan analogi perbudakan adalah sama dengan perbaktian. Tetapi pembahasan ini bukan membicarakan status social kita di gereja tetapi lebih membahas sikap kita di gereja. Apakah kita datang ke gereja untuk melayani, ataukah kita datang ke gereja untuk dilayani?
Seringkali kita datang ke gereja dan banyak anggota gereja yang mengeluh “saya tidak merasa diberkati di dalam perbaktian hari ini” tanggapan ini sangatlah asing bilamana kita berada di dalam perbaktian bangsa Israel di jaman Perjanjian Lama bahkan dalam zaman Yesus di Sinagog di era Perjanjian Baru. Di dalam pengertian mereka, tujuan mereka datang berbakti ke kaabah atau ke sinagog bukanlah untuk mendapatkan pelayanan tetapi untuk memberikan pelayanan. Entah mereka mendapatkan berkat atau tidak itu urusan kedua.
Hal kedua yang kita bisa ambil dari perbaktian orang Israel adalah dalam perbaktian tidak ada yang datang ke dalam Kaabah dengan tangan hampa. Sekecil apapun itu, semua orang harus membawa persembahan ke dalam rumah perbendaraan Tuhan. Kita bisa lihat ini melalu referensinya di dalam kita Imamat. Apapun upacaranya selalu ada korban yang harus diberikan. Ini adalah bukti kedua bahwa perbaktian bukanlah tentang menerima berkat, tetapi memberikan berkat kepada Tuhan.
Oleh karena itu mungkin ini saatnya kita untuk memutar paradigma kita tentang perbaktian dari perbaktian yang berpusat ke diri sendiri kepada perbaktian yang berpusat ke pada Tuhan.
Contoh yang sederhana yang mungkin kita bisa ambil adalah dalam acara lagu lagu pujian. Seringkali kita mendengar pembawa acara akan mengambil inisiatif menuntun jemaat bernyanyi sebelum acara perbaktian dimulai dengan alasan menunggu anggota lain yang masih dalam perjalanan. Bilamana kita menggunakan analogi perbaktian yang berpusat pada Tuhan, tidak ada alasan kita menunggu karena “Tamu Utama” yang ditunggu sudah hadir sejak pak Kostor membuka pintu gereja dan anggota pertama yang datang sudah ada di gereja. “Dimana satu atau dua orang berkumpul di dalam namaKu Aku akan hadir bersama mereka” Matt 18:20
Saya sering membayangkan perasaan Tuhan bilamana sang pembawa acara mengatakan “sambil menunggu anggota lain datang, mari kita menyanyi dari LS…” karena seakan akan lagu yang seharusnya merupakan “pujian” yang kudus buat Tuhan dijadikan hanya sebagai “pengisi” waktu demi anggota jemaat yang belum datang.
Di dalam persembahan lagu lagu, mungkin kita juga perlu berhati hati dalam menggunakan pengertian lagu spesial. Karena seringkali lagu spesial menjadi sangat spesial bahkan lebih spesial dari perbaktian itu sendiri. Tidak jarang kita mendapati untuk mempersiapkan sebuah lagu spesial, seseorang, atau sebuah group akan mengambil lebih dari separuh waktu perbaktian berada di luar gereja demi berlatih buat lagu spesial. Seringkali, sang penyanyi hanya ada di dalam gereja saat bernyanyi. Sebelum lagu mereka dinyanyikan seringkali para penyanyi berada di luar gereja “mempersiapkan” lagu tersebut, dan setelah lagu dinyanyikan sang penyanyi berada di luar gereja kembali mendiskusikan bagaimana persembahan mereka. BIlamana kita kembali ke pada alkitab dan memfokuskan perbaktian kita kepada Tuhan, bukankah kehadiran kita di dalam perbaktian kita adalah hal yang utama buat Tuhan?
Tulisan saya bukanlah untuk melemahkan para penyanyi dan hamba Tuhan dalam memberikan pelayanan mereka kepada Tuhan melalui lagu lagu pujian. Tetapi mungkin inilah saatnya bagi kita untuk mencari hati kita seperti Raja Daud dan bertanya kembali, apakah dan dimanakah focus perbaktian saya? Apakah lagu yang saya nyanyikan benar benar sebagai perbaktian ataukah itu hanya sebagai pertunjukkan belaka? Sebab Alkitab mengatakan bahwa yang Allah mau adalah persembahan kita dari hati yang murni Yesaya 1: 17 berkata “Untuk apa itu korbanmu yang banyak-banyak?” firman TUHAN; “Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan dan akan lemak dari anak lembu gemukan; darah lembu jantan dan domba-domba dan kambing jantan tidak Kusukai.”
Berdasarkan ayat ini, lagu yang merdu, suara yang indah bukanlah jaminan persembahan itu diterima oleh Tuhan. Mungkin suara indah bisa menyenangkan hati orang tapi belum tentu Tuhan melihatnya dalam pandangan yang sama.
Ayat 16 dan 17 di dalam kitab yang sama (Yesaya) menjelaskan apa persyaratannya agar supaya perbaktian seseorang diterima. Alkitab berkata: Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, elajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” hati yang bersih lebih penting daripada lagu yang merdu.
Semoga melalui artikel ini, kita bisa lebih melihat bahwa di akhir dari segalanya, perbaktian kita adalah untuk Tuhan dan Tuhan semata.
OLEH : Pdt. Bayu Kaumpungan