Musim pemilihan telah tiba di Indonesia, juga di Amerika Serikat. Para pemilih sudah terdaftar, calon siap bertarung, kampanye sudah bergulir. Suasana politik memanas dimana-mana.
Diskusi politik muncul di berbagai media dan forum, juga dalam percakapan di banyak tempat. Peningkatan taraf pendidikan masyarakat umum dan kemajuan komunikasi ikut mendorong “partisipasi” warga dalam percaturan politik.
Pengertian dan aplikasi politik kini sangat luas dan beraneka corak. Politik negara, pemerintah, internasional, perusahaan, organisasi, dlsb. Itu terlihat dalam segala segi dan aspek kehidupan, tempat dan waktu.
Pengertian Politik
Sesungguhnya, apa itu politik? Apa itu baik atau buruk? Apa fungsinya dan hal-ihwalnya?
Politik, politics, berasal dari istilah Junani politikos “dari, untuk atau berkenaan dengan publik atau orang banyak.” Itu dibahas oleh Aristoteles dalam bukunya Politika dan muncul sebelumnya dalam buku Republika-nya Plato.
Pengertian yang asli dan baku dari politik adalah “menyusun dan menjalankan pemerintahan.” Kita sebut itu sekarang policy, kebijaksanaan, mencakup peraturan, sistem, struktur dan petugas untuk mengatur orang-orang yang diam bersama di satu lokasi. Politika berarti “hal ihwal tentang kota.” Zaman dulu banyak pemerintah hanya mengatur polis atau kota; banyak raja yang kerajaannya hanya satu kota saja. Itu melahirkan istilah metropolis, kota besar, dan polisi, pengaman kota.
So far so good! Politik itu baik dan perlu. Komunitas hidup bersama dalam suatu wilayah perlu pengaturan. Selama cuma ada satu penguasa tunggal, tidak ada pertentangan kepentingan, semua beres, lancar diatur oleh politik. Bahkan lebih dari situ. Banyak maharaja juga “berstatus” dewa; apa saja kemauan raja itulah politik negara.
Para kawula tentu tidak dapat dibodohi selamanya, gejolak protes timbul di sana-sini. Bintang mahaputra untuk jasa mencopot “hak-hak ilahi” para raja itu pantas diberikan kepada Napoleon Bonaparte. Banyak kerajaan tumbang dan menjadi republik, tempat-tempat yang masih memajang raja dan ratupun berobah menjadi monarki konstitusional. Rakyat boleh bicara.
Babak baru dimulai: era demokrasi. Rakyat yang memerintah, mereka ada banyak dengan keinginan dan selera masing-masing. Mulai ada konflik kepentingan bukan hanya supaya survive tapi menguasai. Supaya kuat orang-orang yang sepaham membentuk kelompok-kelompok yang saling bersaing dan terbentuklah partai politik.
Politik yang tadinya sekedar menyusun dan menjalankan pemerintahan kini perlu dilengkapi dengan aturan main antar kelompok. Itu karena ada kompetisi untuk memimpin pemerintahan melalui perebutan pengaruh atas orang banyak. Itulah politik, realita dunia kita sekarang ini.
Politik dan Gereja
Itulah juga dunia yang dihadapi oleh gereja. Perlu “bearing,” baringan, pedoman arah untuk mengarungi dunia dimana gereja ada dan hidup. Bagaimana mestinya sikap gereja dan umat terhadap pemerintahan dan politik?
Singkatnya, kaum gerejani punya tiga pilihan sikap dalam hal ini: Harus, Boleh, dan Jangan. Warga yang bilang HARUS itu sadar akan hak dan tanggung-jawabnya sebagai warga. Bangsa dan negara adalah karunia Tuhan dan mesti dijaga dan diurus, tidak boleh dilalaikan. Itu sikap terpuji. Patriotisme adalah bagian dari aplikasi rohani. Umat yang saleh adalah warga yang patuh hukum, aktif sosial dan tetangga yang baik.
Umat yang berpendapat JANGAN prioritas mereka adalah kerajaan Tuhan, tidak ada waktu untuk mengurus dunia karena “dunia dan apa yang ada dalamnya itu jahat.” Kita bilang Amen! Mereka yang sikapnya BOLEH ada di tengah-tengah. Itu bukan keharusan, tapi bila situasi menuntut, tidak ada salahnya.
Sikap HARUS itu berdasar konstitusi dan didukung oleh PBB. Group JANGAN konsentrasi- nya mempercepat berdirinya kerajaan Yesus di bumi. Yang ketiga bebas aktif, waspada dan arif.
Tapi posisi gereja mesti jelas, bijaksana dan berdasar firman. Tidak boleh salahkan mereka yang merasa terpanggil berbakti kepada negara, dan mesti menghormati saudara-saudara yang konsentrasi mendirikan kerajaan Allah di bumi. Tapi tiga posisi yang ber-oposisi, apa solusinya?
Syukur kepada Tuhan, tiga sikap di atas tidak mesti bertentangan. Ketiganya komplementer, saling melengkapi. Gereja Tuhan menjadi penuh dan lengkap olehnya. Apa yang kita perlu adalah aturan main dan konsensus. Politik lagi!
Di Amerika Seriikat hal ini diperdebatkan sudah demikian luas dan lama. Setiap pergantian pemerintahan topic ini muncul lagi. Negeri dimana Kristen sudah bercokol dari awal ini sudah berdemokrasi ratusan tahun. AS sudah memperkembangkan tradisi dan praktek yang boleh jadi bandingan untuk negara lain. AS mayoritas Kristen tapi konstitusi menetapkan negara sekuler, negara tidak mencampuri agama dan agama tidak mengurus negara.
Orang-orang gereja AS tidak kalah semangat membela kepentingan politik, tapi mereka mesti ikut aturan. Umat bebas berpolitik, tapi gereja sendiri tidak. Gereja punya banyak benefits, hak dan keleluasaan, perpajakan misalnya. Gereja tidak bayar pajak, dan, untuk bantuan uang dan in-natura ke gereja, para penyumbang mendapat keringanan pajak. Karena itu gereja dilarang berpolitik (karena itu juga gereja banyak uang). Ketahuan gereja mempromosi seorang kandidat atau RUU, kebebasan pajaknya terancam.
Pendeta dan ulama yang digaji gereja secara pribadi boleh berpolitik, tapi di atas mimbar tidak boleh. Musti netral. Organisasi sosial Alliance Defence Fund telah menyusun daftar 23 tindakan yang BOLEH/TIDAK BOLEH dilakukan, diizinkan, untuk gereja dan pendeta. Contoh, kalau gereja menyambut Caleg dari partai A, gereja mesti menyambut Caleg dari partai B dan lainnya juga.
Bagaimana umat bersikap dalam politik gereja tidak ikut camput, umat sendiri yang memilih. Saya memilih sikap HARUS, BOLEH atau JANGAN apa motivasi saya. Saya menerima atau menolak sikap atau langkah politik tertentu, itu urusan pribadi. Motivasi dan alasan yang terbaik adalah kasih kepada Tuhan dan kepada gereja-Nya. Kalau saya mencalonkan diri atau suport seorang calon demi kemajuan pekerjaan Tuhan semoga Tuhan memberkati pilihan saya.
Tapi kalau saya mencalonkan diri atau berkampanye dengan motivasi kepentingan diri atau parpol maka saya mesti berhati-hati. Kalau anggota lain berambisi politik berseberangan dengan saya, bisa-bisa kasih sesama umat terganggu dan persekutuan jemaat terancam.
Sering pesta demokrasi sudah lama usai, anggota-anggota jemaat yang berbeda aliran masih terus bersaing. “Before battle lines are drawn on the sand, they are drawn in the mind, in the heart.” Sebelum peperangan berlangsung di lapangan, itu sudah berlangsung dalam pikiran. Perang sudah selesai, tapi dalam pikiran masih terus berkecamuk.
Tapi orang berkomentar bahwa Yesus berdoa— “Seperti Bapa sudah mengutus Aku ke dalam dunia, begitu juga Aku mengutus mereka ke dunia,” Yohanes 17:18. Juga Matius 28:19, 20. Kita di utus ke dunia – dunia agama, dunia ekonomi, ilmu pengetahuan, politik. Kita tidak membantah perintah Yesus ini. Tapi kita diwanti-wanti “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” Percaturan politik memperrebutkan posisi tidak menunjang persatuan jemaat.
Aplikasi dan Konsekuensi
Orang Indonesia terkenal perasa, budi pekerti halus dan ramah, tapi perlu belajar dari orang Amerika yang keras, ketus dan kurang ramah. Kalau orang Amerika hari ini berhantam, apakah bertengkar atau adu jotos, besok masalahnya dilupakan, mereka sudah bekerja atau main bersama lagi, kejadian kemarin tidak membekas di hati. Kalau ada yang ingatkan kejadian kemarin, sama-sama tertawa rasa lucu.
Kita putra-putri Nyiur Melambai perasaan-nya teramat peka dan daya ingat terlalu kuat. Tapi yang diingat masalah. Persoalan tiga tahun lalu dipendam di hati, disiram dengan salah-faham enam bulan lalu, dibakar oleh kata-kata yang menyinggung kemarin, menjadi dendam kesumat yang membara sampai mati. “ Nanti ngana lia!” “Rasa-in lu nanti” Sementara dua-dua berdoa “Datanglah kerajaan-Mu.” Ada persoalan nenek-moyang yang dibawa-bawa sampai ke komite jemaat.
Disayangkan, politik juga merambat ke gereja-gereja tertentu. Ada blok-blok, suka dan tidak suka. Pemilihan pegawai jemaat berjalan alot, kadang-kadang berakibat kumpulan baru terbentuk. Jadi ada baiknya, orang bilang. Tapi church planting, gereja baru, mestinya adalah hasil perencanaan bersama, bukan akibat kasih yang memudar, gontok-gontokan. Gereja terlalu kecil tidak baik, terlalu besar juga tidak baik; mana ukuran yang ideal itu topic lain.
Politik sungguh tidak ada tempatnya dalam jemaat dan organisasi gereja. Umat Tuhan telah dipanggil oleh kasih Allah, dan kasih adalah satu-satunya alasan kita berkumpul dan melayani satu dengan yang lain.
Gereja hidup dan bergerak dengan aneka visi, misi dan fungsi, karena itu diperlukan bentuk, organisasi, pengurus dan strategi. Kewilayahan sering menjadi issue dalam pelayanan. Sebesar mana, sejauh mana efisiensi administrasi paling baik? Seribu kepala mungkin punya seribu idea. How do we proceed?
Tidak ada ketentuan atau dalil yang pasti tak dapat ditawar-tawar. Tapi satu hal semua orang sepakat: ini adalah pekerjaan Tuhan, this is God’s business! Jadi kita mesti jalani itu langkah demi langkah sambil bertanya, Apa kehendak Tuhan?
Kita tidak dapat berharap Tuhan memberi petunjuk lewat mimpi, petir atau wifi, segera dan selalu. Mengapa? Karena Ia telah mengaruniai kita wisdom, akal-budi. Akal untuk berpikir dan budi untuk menjaga persaudaraan. Langkah mana memfasilitasi pekerjaan Injil secara paling efisien dan membangun kasih sesama saudara?
Urusan gereja, organisasi dan amal ibadah kita berfokus hanya pada kasih kepada Tuhan dan sesama. Bukan kepentingan diri atau kelompok. Kalau punya gagasan yang brilian untuk kemajuan pekerjaan Tuhan, kalau kondisi dan situasi perlu perbaikan, salurkan buah pikiran dan usul secara prosedural lalu berdiam. Tidak perlu kampanye, unjuk rasa, kasak-kusuk, koalisi, polemic atau aksi politik apapun. Hasil yang baik akan kita capai, dan kasih dan persatuan terpelihara.
Mereka yang memimpin mesti awas dan terbuka. Situasi dan kondisi yang ada mungkin perlu diperbaiki. Mempertahankan status quo bukan posisi yang terbaik dalam segala waktu dan situasi. Hargai pihak yang berbeda pikiran. Terima pendapat mayoritas. Kalau ada gerakan yang bertindak di luar prosedur, tegur dengan kasih lewat prosedur. Kalau penggeraknya tidak mau menerima teguran dan bersikukuh pada posisinya, serahkan kepada Tuhan.
Kalau ada yang memaksakan pendapat, tidak menurut prosedur, tidak mau berdamai, salami mereka dengan kasih. Lebih dari itu biar Tuhan jalankan kehendak-Nya. Sering kita tidak mengerti jalan Tuhan sepenuhnya. Kalau ada pihak yang memakai cara politik, jangan counter politik. Politik memecah belah. Sebaliknya kasih membangun persatuan dan damai, dan iman membuat kita teguh berpegang kepada Tuhan.
Membangun untuk Tuhan
Saya yang berkeinginan mengambil langkah organisasi, apakah untuk merobah keadaan, atau mempertahankan status quo, apakah alasan saya, untuk Tuhan atau ego. Saya memperjuangkan sesuatu apa motive saya: kepentingan gereja, ataukah demi pribadi dan kelompok. Dalam pekerjaan Tuhan, no one is indispensable. Jangan kita berpikir pekerjan Tuhan tidak akan jalan tanpa saya. Tanggung-jawab kita adalah membangun rumah Allah, 1 Korintus 3:10-17. “. . . Tiap orang harus memperhatikan, bagaimana ia harus membangun di atasnya. . .” Di atas apa? Di atas pondasi Kristus. Bangunan apa? Kerohanian pribadi, gereja lokal dan gereja se dunia dan sementara itu, membangun rumah kita di surga.
Oleh: Jack Kussoy