Beberapa tahun yang lalu, Brit Hume, jurnalis televisi dan komentator politik, membuat komentar televisi tentang bintang golf nomor satu dunia waktu itu saat ia sedang dilanda badai. Tiger Wood sedang berikhtiar menyelamatkan rumah tangganya yang terancam bubar karena Elin Nordegren minta cerai akibat skandal suami selingkuh. “Tiger Woods sedang mempertimbangkan untuk masuk Kristen,” begitu kata Hume. “Kabarnya ia beragama Buddha, saya pikir agamanya tidak menawarkan keampunan dan penebusan seperti yang diberikan agama Kristen.”
Karuan saja hujan cercaan menimpa Hume, si managing director Fox News Channel akibat ucapannya yang dipandang outrageous. Dari segala penjuru: wartawan, pengamat sosial, akademisi, ulama, negawaran, atlit, dan masyarakat umum. Di media cetak, radio, televisi, obrolan elektronik, universitas, dan pertemuan terbuka.
Tapi tudingan dan cemooh tidak urung juga dilontarkan terhadap orang-orang Kristen. Bahwa Hume mengintimidasi Woods untuk bertobat masuk Kristen. Bahwa Kristen sudah terpuruk dan coba-coba memperbaiki citra dengan jalan menjelekkan agama lain. Kapan orang-orang Kristen berhenti menari-nari di ladang orang.
Gereja-gereja dituduh suka melakukan apa yang disebut proselytizing. To proselytize berarti to induce someone to convert to one’s religion, mempengaruhi orang lain untuk pindah agama. Di alam liberal Amerika, istilah ini punya bad connotation, konotasi jelek. Mempengaruhi orang lain untuk pindah agama menunjukkan bahwa seseorang berpendapat agamanya lebih baik dari agama orang lain, dan menyatakan hal itu kepada orang lain. Setiap orang boleh, bebas berpikir dan menganggap apa yang ia miliki – pekerjaan, rumah, istri, agama, apa saja – lebih unggul dari milik orang, tapi tidak boleh dengan sengaja mengekspresikan itu dalam bentuk apapun kepada orang lain. Itu tidak pantas, politically incorrect. Begitu undang-undang tidak tertulis di masyarakat yang majemuk dan liberal di AS.
Ross Douthat kontributor New York Times menilai bahwa demokrasi liberal menawarkan hak hidup kepada penganut agama manapun, kebebasan mengamalkan keyakinan masing-masing dan bersaing secara sehat dengan penganut agama-agama lain, termasuk juga mereka yang tidak beragama. Dan bersamaan dengan itu, kewajiban untuk tidak meng-impose atau “memberlakukan” keyakinan seseorang kepada tetangga, atau menggunakan kekuasaan negara untuk memaksakan keyakinan.
Azas kebebasan, toleransi dan saling menghargai antar golongan keyakinan yang saling berbeda itu, penjabarannya adalah tak seorangpun boleh dianiaya atau menjadi korban akibat keyakinan agamanya, dan tak seorangpun diperkenankan mengritik atau mengecilkan agama lain secara terbuka. Tidak boleh bilang agama-ku lebih unggul dari agama-mu, mengritik atau mengatakan satu hal apapun yang tidak baik mengenai agama lain kecuali secara intern di rumah, gereja, masjid, sinagog, kuil, atau pura-mu sendiri. Konsensus umum adalah saling menghargai, hidup berdampingan secara damai, menjaga ketenteraman dan melindungi kaum yang lemah [baca minoritas]. Ini juga prinsip dasar Perserikatan Bangsa-bangsa.
Sebagian orang, di Amerika pun, meskipun menjunjung tinggi toleransi dan saling menghargai, namun menganggap keterbukaan dan perdebatan yang konstruktif antar golongan itu sehat. Ross Douthat berkomentar bahwa jika anda memperlakukan iman anda seperti barang pecah belah, terlalu ringkih dan tidak tahan banting dalam arena debat umum, orang-orang tidak akan menghargau agama anda tersebut. Kalau agama itu terlalu misterius atau terlalu rumit untuk diperdebatkan, hal itu akan membuat agama itu tidak dipandang sebelah mata.
Hidup di alam sosial yang demokratis dan modern ternyata bukan “a walk in the park,” gampang-gampang saja, tidak sesederhana itu. Sifat dan sikap bigotry, yaitu menganggap diri, kumpulan atau paham seseorang lebih baik, lebih tinggi, lebih baik dari lain, telah menjadi seperti “dosa yang tidak dapat diampuni” dalam masyarakat. Dalam tatanan sosial yang monarkis absolut atau ekstrim hal itu mungkin dianggap lumrah, tapi tidak demikian di masyarakat bebas liberal.
Konflik antar golongan dan paham ada di mana-mana. Di Eropah yang terkenal sekular pun banyak yang memprotes pelecehan atas hak dan kebebasan wanita Islam mengenakan burqah di umum. Kebijaksanaan pemerintah AS memfasilitasi pelayanan anti kehamilan dan pengguguran diprotes habis-habisan oleh ulama-ulama Katholik yang merasa keyakinan dan ajaran mereka tentang seksualitas dilecehkan.
Hal ini ber-implikasi terhadap gereja-gereja Kristen, namun secara khusus kepada umat-umat Advent. Bagaimana mempraktekkan hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai dengan orang, umat dan gereja lain, saling menghargai dan menghormati keyakinan dan cara hidup masing-masing, tidak menyinggung orang lain, pada saat yang sama menjalankan perintah Alkitab mengabarkan undangan Tuhan, menyediakan umat yang sedia bagi kedatangan-Nya? Bagaimana menyebut dosa itu dosa tanpa menyinggung perasaan si pendosa?
Metode penginjilan yang ampuh seperti Ceramah umum “Harapan Zaman Ini,” “Nubuatan Berbicara,” dll. otomatis tidak dapat digunakan lagi, sudah ketinggalan zaman. Evangelisasi dan outreach mesti berobah bentuk supaya tidak melanggar norma-norma, etika dan kepantasan sosial.
Tapi mengabarkan Injil dan memberi-tahu dunia bahwa Yesus akan segera datang adalah tugas kita. Yohanes 17:13-18 menyebutkan bahwa kita, murid-murid dan pengikut-pengikut Yesus sudah diutus ke dunia. Ke dunia yang perlu mengenal Tuhan dan keluar dari kegelapan. Mengabarkan, membagikan terang tanpa bigotry, tanpa mempersalahkan, mencela dan memancing protes dan perlawanan, itulah tugas kita.
“Aku mengirimkan kamu bagai domba di antara serigala-serigala,” Matius 10:16, nasihat Yesus kepada murid-muridNya. “Karena itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti melati.” Kita dituntut cerdik sekaligus tulus. Cerdik dan tulus adalah pandai, bijaksana, waspada, taktis dan strategis, pada saat yang sama, tertib dan patuh hukum.
Pekabaran Injil di Indonesia, India, Afrika, dan Amerika Selatan sejauh ini masih terbuka lebar, tidak terhalang oleh isyu political correctness seperti yang terlihat di AS. Itu sebabnya penarikan jiwa masih lancar dan limpah di wilayah-wilayah ini. Lain dengan di California, Colorado, New Jersey, Washington dan di Eropah di mana pendeta-pendeta kita sering terpaksa mencantumkan tidak ada satu jiwapun dibaptis dalam laporan kerja tahunan. Atau, ada tiga jiwa dibaptis dan tiga-tiganya adalah anak anggota. Bukan hanya itu. Di tempat-tempat tertentu menyebutkan nama Yesus dan membawa atribut Kristen pun tidak diperkenankan.
Gereja kita sudah lama menggeluti masaalah itu. Sebagai bagian dari program cerdik seperti ular, penginjilan di beberapa tempat terpaksa dilaksanakan secara terselubung.
Bersyukur bahwa kesempatan menarik jiwa di Indonesia dan tempat-tempat lain masih terbuka lebar. Itu sebabnya tokoh-tokoh General Conference juga grup-grup independen dan kaum awam dari AS cari-cari kesempatan untuk outreach di ladang-ladang yang subur itu.
Tetapi siapa yang dapat menjamin pintu pekabaran Injil di tempat-tempat itu akan terus terbuka. Seperti lucrative market, pasar yang sangat laris pun, lama-lama akan jadi saturated, jenuh, begitu juga ladang pengabaran Injil. Pintu-pintu itu akan tertutup nanti, apakah oleh tumbuhnya fanatisme religius di antara masyarakat mayoritas, atau oleh berkembangnya pola kultur liberal seperti yang saat ini terlihat di AS, atau oleh sebab lain.
Resistansi atau perlawanan terhadap pekerjaan penginjilan dapat juga timbul sebagai akibat kecerobohan para pekabar Injil. Ada yang berargumentasi bahwa semakin banyak perlawanan terhadap penginjilan, semakin dekatlah penganiayaan, dan semakin dekat jugalah kedatangan Tuhan. Itu ada benarnya, namun Tuhan menginginkan kita bekerja selagi hari siang. Biar Tuhan yang mengatur saatnya malam itu datang. Justru Ia lambat datang karena menunggu kita sedia.***
Iman Ditengah Liberalisme
