Saat pulang kantor dengan sepeda motor Budi menyaksikan suatu drama kecil sangat menarik. Seorang anak kecil berumur lebih kurang sepuluh tahun, dengan sangat sigapnya, mendahului dia di sela-sela kepadatan kendaraan saat berhenti di lampu merah di Jakarta.
Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak, ia mengayuh sepeda warna biru mudanya sambil membagikan bungkusan tersebut. Ia menyapa akrab setiap orang, dari tukang koran, penyapu jalan, tunawisma sampai polisi.
Pemandangan itu membuat Budi tertarik. Pikiran Budi melayang membayangkan apa yang diberikan si anak kecil tersebut dengan bungkusannya. Apakah ia berjualan? Kalau dia berjualan, apa mungkin seorang tunawisma menjadi langganan tetapnya? Atau…”
Untuk membunuh rasa penasaran Budi, dia pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai di seberang jalan. Budi menyapa anak tersebut untuk berbincang-bincang, “Dik, boleh kakak bertanya?” “Silahkan Kak.” “Kalau boleh tahu, bungkusan yang barusan adik bagikan ke tukang koran, tukang sapu, peminta-minta, bahkan Pak Polisi itu apa?” “Oh, itu bungkusan nasi dan sedikit lauk, Kak. Memang kenapa, Kak?” Ia bertanya balik dengan sedikit heran.
“Oh, …tidak! Kakak Cuma tertarik cara kamu membagikan bungkusan itu. Kamu tampaknya sudah lama kenal dengan mereka.!” Lalu adik kecil itu mulai bercerita, “Dulu, saya dan ibu saya sama seperti mereka , seorang tunawisma. Setiap hari, kami hanya mengharapkan belas kasihan banyak orang. Seperti Kakak ketahui, hidup di Jakarta sangat sulit, sampai kami sering tidak makan. Pada siang hari, kami kepanasan dan pada malam hari, kami kedinginan. Keadaan ini diperparah ketika musim hujan, kami sering kehujanan. Apabila mengingat waktu itu, kami sangat sedih. Namun, setelah ibuku membuka warung nasi , kehidupan keluarga kami mulai membaik. Karena itu, ibu selalu mengingatkanku bahwa masih banyak orang susah seperti kami dulu. ‘Jadi, kalau saat ini kita diberi rejeki yang cukup, kenapa kita tidak dapat berbagi bersama mereka. Ibuku selalu berkata, “Hidup harus berarti bagi banyak orang,’ karena pada saat kita kembali kepada Sang Pencipta, tidak ada yang kita bawa. Hanya satu yang kita bawa, yaitu kasih kepada sesama serta amal dan perbuatan baik kita. Kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang, mengapa harus ditunda? Menurut ibuku, umur manusia terlalu singkat, hari ini, kita bisa memiliki segalanya, tetapi satu jam kemudian atau besok, kita bisa saja dipanggil Sang Pencipta. Apakah yang kita bawa?”
Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hati. Saat itu juga. Budi merasa lebih bodoh dari anak kecil ini. Budi malu dan sangat malu. Yah … Tuhan, ampuni saya. Ternyata, kekayaan, kehebatan, dan jabatan tidak mengantarku kepada-Mu. Hanya kasih yang sempurna serta iman dan pengharapan kepadaMulah yang dapat mengiringku masuk surga. “Terima kasih adik kecil. Kamu adalah malaikatku yang menyadarkan aku dari tidur nyenyakku.”
Inspirasi
Untuk Direnungkan : Saya pernah mendengar ungkapan, “Satu ons tindakan jauh lebih berharga daripada satu ton pengertian.” Kita sering kali justru tertemplak oleh orang-orang yang kita anggap kecil, terseingkirkan dan tidak masuk hitungan. Namun, justru itulah mereka tidak hitung-hitungan.
Untuk Dilakukan : “Dan Raja itu menjawab mereka : Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Matius 25 : 40
Mengapa tangan yang diatas lebih berbahagia ketimbang tangan yang dibawah? Karena sikap dan tindakan memberi menunjukkan hati yang penuh ucapan syukur. Memberi lebih berkat daripada menerima itulah kata nas Alkitab. Hati yang dipenuhi ucapan syukur akan selalu memberi dengan kasih kepada orang lain. Hidup yang merasakan berkat surga akan memberi lebih banyak dari pada hidup yang kurang bersyukur. Kita dinasihati untuk mengucap syukur dalam segala hal. Kita boleh mengeti banyak tentang kasih tetapi itu tak berarti bila tidak ada tindakan nyata dalam hidup. “Biarlah kata-kata kita sepadan dengan tindakan”