Saya pernah mengenal seorang muda yang aktif di gereja kami.Dia bertumbuh dari keluarga Advent yang keras dan serius dalam mempertahankan keyakinan mereka. Semasa kecilnya, dia begitu aktif melayani di gereja dan sangat terlibat dengan semua kegiatan jemaat sampai kepada hal hal yang kecil sekalipun.
Sayangnya saat dia mulai bertumbuh remaja, tiba tiba saja dia hilang dari gereja tempat dimana dia berbakti. Anak muda ini mulai terlibat dengan kehidupan klub malam, mabuk mabukan, dan menolak untuk kembali ke gereja.
Orang tua dari sang gadis ini, meminta saya untuk melawat putrinya ini dan berusaha membujuk dia untuk kembali ke gereja. Oleh karena itu, satu sore saya ambil waktu untuk bertemu dan berbicara, dan menanyakan akan apa yang menyebabkan dia tidak lagi mau datang ke gereja. Pemudi ini kemudian menjawab dengan lantang “orang orang di gereja itu semuanya MUNAFIK! Mereka hanya sekedar menunjukkan tampang baik tetapi hatinya busuk! Untuk apa saya menghabiskan waktu saya dengan orang orang munafik sementara orang orang di luar sana jauh lebih tulus daripada orang orang di gereja”
Tentu saja sebagai seorang pendeta, tidaklah mudah untuk menerima kata kata seperti ini. .Bagaimana mungkin gereja, dan orang orang yang ada di dalamnya adalah munafik? Tetapi mau tidak mau saya mengambil waktu untuk benar benar memikirkan kata kata sang pemudi tersebut. Apakah benar Gereja dan orang orang di dalamnya munafik? Apakah benar dunia melihat kita sebagai Umat umat yang munafik?
Saya memulai pencarian saya dengan mencari apa arti kata munafik di dalam Alkitab. Kata munafik diambil dari kata bahasa Yunani “hypokrites” yang artinya “aktor atau pemain lakon” Jadi sebetulnya kata munafik secara teknis bukanlah kata yang kasar. Akan tetapi Yesus menggunakan kata ini untuk mengecam tindakan sebagian orang di dalam Alkitab.
Kalau kita lihat aktor itu sendiri, yang membuat seseorang menjadi aktor adalah saat dia harus memerankan sebuah tokoh di dalam skenario atau sinetron. Sang aktor tidak perlu untuk menunjukkan watak asli mereka, melainkan dia harus mampu memerankan peran yang diberikan kepadanya sebaik mungkin untuk dapat meyakinkan penontonya. Di dalam situasi jaman Yesus, mereka juga harus memakai topeng dari karakter tersebut. Tidak perduli akan siapa mereka sebenarnya, selama mereka memakai topeng tersebut maka sang aktor harus mampu menunjukkan karakter dari tokoh tersebut. Maka pertanyaan saya sekarang adalah, apakah kita semua merupakan aktor aktor handal di dalam panggung sandiwara bernama Gereja? Apakah kita sedang “memerankan” peran kita sebagai seorang Adventist sementara sebetulnya itu bukan tabiat dan karakter kita yang sebenarnya?
Peter Scazzero dalam bukunya “Emotionally Healthy Spirituality” merubah kata munafik menjadi lebih halus dengan kata Inkonsisten. Menurutnya, ada banyak orang Kristen yang tidak konsisten dengan kehidupan mereka. Pdt.Peter memberikan beberapa contoh ketidakkonsistenan dari banyak orang orang Kristen. Contohnya saja: (saya ubah contoh dari buku ke dalam konteks budaya Indonesia supaya lebih dapat dipahami oleh semua pembaca)
- Bpk. X merupakan Ketua Jemaat yang sangat dihormati dan disegani oleh karena kewibaannya tetapi memaksa anaknya untuk menikah dengan orang yang dia pilih demi menjaga muka dan harga dirinya sendiri.
- Ibu Z adalah ketua BWA yang handal tetapi tidak bisa mengkontrol mulutnya dalam menceritakan kejelekan dan keburukan dari orang orang di Gereja kepada orang orang lain.
- Bpk. X rajin berpuasa setiap Sabat tanpa gagal sementara menjegal karir teman sekantornya karena takut tersaingi.
- Z adalah pemimpin Pemuda yang tangguh dan berdedikasi tinggi untuk menutupi rasa kegagalannya sebagai mahasiswa di Kampus tempat dia belajar
- Pdt. X mengkhotbahkan khotbah khotbah yang menyenangkan hati anggotanya supaya tidak dikritik dan dikecam
- A dapat menyanyi di berbagai KKR dan Acara Gereja dengan merdu dan mengharukan tetapi secara sembunyi sembunyi rajin ke klub malam untuk minum-minum dan pesta hura – hura.
- Bpk.X adalah diakon yang sangat berapi api dalam menentang penggunaan rok mini di gereja tetapi merupakan pecandu pornografi di rumahnya sendiri.
- B meminta surat perpindahan keanggotaan Jemaat kepada gereja setelah Pendeta menanyakan perihal hubungannya dengan seorang wanita yang tidak seiman dan mereka berencana untuk menikah. Alasan B pindah adalah karena dia merasa “Tuhan memanggil dia untuk melayani di tempat lain”
- Bpk. Z membangun sekolah sabat cabang di tempat lain dengan alasan “melebarkan pekerjaan Tuhan” sementara sebetulnya alasan utama dia pindah karena tersinggung ia tidak terpilih kembali sebagai ketua jemaat
- A adalah seorang pemimpin Pelayanan Anak-anak yang lembut dan ramah di gereja untuk lari dari kenyataan pahit masa kecilnya yang pernah dilecehkan oleh omnya sendiri.
Ada banyak lagi contoh lain yang dituliskan di buku ini, tetapi kesimpulannya satu. Hal hal di atas sering terjadi di banyak gereja dan ini berarti ucapan pemudi di atas ada benarnya; bahwa gereja memang munafik. Tetapi apa memang seburuk itukah orang orang di gereja?
Saya rasa tidak, tetapi satu hal yang ingin saya usulkan mungkin banyak dari kita yang mempraktekkan “Kerohanian Gunung Es”.Bilamana kita lihat bongkahan es yang terapung. Hanya sebagian kecil dari es itu yang muncul ke permukaan, sebenarnya lebih dari 8o persen sisanya terbenam di dalam air. Kebanyakan orang Kristen mungkin adalah seperti gunung es. Kita hanya menunjukkan pada orang sebagian kecil dari diri kita dan menyembunyikan sisanya terkubur di dalam air. Tidak kelihatan dari siapa saja.
Akan tetapi alangkah indahnya untuk tahu bahwa Tuhan tidak tertarik pada bagian es yang kelihatan di luar tetapi mencari sampai ke dalam lubuk hati kita. Ini semua bisa kita lihat di dalam buku Yohanes pasal 4 di dalam kisah Perempuan di Sumur. 7 Kali Yesus berusaha membuka topeng yang perempuan ini pakai dan 6 kali dia berusaha mengelak. Akan tetapi Yesus terus mencecar perempuan ini dengan pertanyaan yang dalam sampai akhirnya dia menyerah dan mengakui Kristus sebagai sang Mesias yang telah datang.
Sementara slogan arise, shine, Jesus is coming semakin nyaring digaungkan di seantero komunitas Adventist sedunia, seringkali kita masih menggunakan topeng Adventist kita dan semua yang kita lakukan adalah hanya untuk memenuhi peran kita sebagai seorang Kristen. Sementara kedalaman hati kita tidak pernah tersentuh oleh karunia Kristus.
Di dalam seri “Chronicles of Narnia” C.S Lewis menceritakan tentang Alegori Kristen dengan Yesus yang digambarkan sebagai Singa Aslan. Di salah satu bukunya yang berjudul “Voyage of the Dawn” Lewis menceritakan tentang seorang bocah bernama Eustace yang dikutuk menjadi seekor naga oleh karena sikap cinta diri, keras kepala, dan tidak percaya. Eustace berusaha sekuat tenaga untuk berubah kembali menjadi anak kecil dengan tiada hasil. Sang Singa Aslan kemudian mengatakan bahwa Eustace perlu untuk membasuh dirinya di danau. Tetapi oleh karena dia adalah seekor naga, dia harus melepas kulitnya agar bisa masuk ke danau yang kecil itu. Eustace teringat kalau dia bisa melepaskan sisiknya seperti seekor ular. Oleh karena itu dia mulai meronttokkan sisiknya satu persatu, namun sisik itu terus tumbuh. Setelah tiga kali mencoba, akhirnya ia menyerah karena sisik itu terus tumbuh. Aslan kemudian mengatakan, “engkau harus menginzinkan aku untuk mengulitimu” dan Eustace menjawab:
“aku sangat takut dengan cakarnya. Sungguh! Tetapi aku sudah menyerah dan tidak tahu harus berbuat apa apa lagi. Oleh karena itu aku hanya terbaring di punggungku dan membiarkan dia melakukannya.Sobekan pertama sangatlah dalam sampai sampai aku berpikir dia telah menembus jantungku. Dan saat Ia melepaskan seluruh kulitku, rasanya sungguh sakit tiada tara. Aku tidak pernah merasakan sakit yang luar biasa seperti ini.
Dia melepaskan semua kulit dan sisik yang buruk itu, seperti yang sebetulnya aku juga lakukan. Namun saja saat aku melakukannya sendiri, itu tidak sesakit saat ia melakukannya dan sisik yang ia kupas jauh lebih hitam dan jauh lebih tebal juga lebih terlihat menjijikkan. Dan saat itulah baru aku sadari bahwa aku telah menjadi halus dan lembut kembali.
Kemudian ia mengangkatku, dan melemparkanku ke danau itu. Pertama tama kulitku rasanya sangat pedih saat aku masuk ke dalam air, namun sesaat kemudian aku telah menikmati air itu dan berenang kian kemari tanpa rasa sakit apapun. Baru aku sadari bahwa aku telah kembali menjadi bocah kembali setelah semua yang Singa itu kupas dari diriku dan menutupi diriku dengan baju yang baru dengan tangannya. “
Lewis menggambarkan dengan indahnya, kebenaran yang menyakitkan tentang Karunia Tuhan. Seringkali memanglah menyakitkan untuk membiarkan “cakar” Kristus menembus kemarahan, kesakitan, kehilangan, kekecewaan, perasaan bersalah, dan kegagalan masa lalu yang kita sering simpan di dalam diri kita. Inilah alasannya kenapa banyak orang seperti wanita di sumur yang berjumpa dengan Yesus berusaha untuk menghindar dan lari dari Yesus, saat Kristus berusaha memasuki hatinya.
Sangatlah menyakitkan untuk mengakui kalau ada sesuatu yang salah dengan diri saya, sangatlah menyakitkan untuk mengakui saya telah gagal dalam pekerjaan, percintaan, keluarga, keuangan, dan banyak hal yang lain. Sangatlah menyakitkan untuk mengakui kalau keluarga saya tercerai berai, dan saya tidak punya kendali akan keadaan tersebut. Sangat menyakitkan untuk menceritakan pada Tuhan bahwa saya marah, saya sedih, saya merasa tidak diperhatikan, saya merasa tidak dihargai, atau dihormati. Sangat menyakitkan untuk mengakui bahwa saya tidak punya percaya diri, dan saya ingin dihargai.Sangat menyakitkan untuk mengakui bahwa anak anak saya, keluarga saya hilang dari Gereja dan tidak ada yang dapat saya lakukan untuk membawa mereka kembali. Sangatlah menyakitkan untuk mengakui kalau saya tidak lagi sejalan dengan orang tua saya, atau mengakui kalau rumah tangga saya berantakan. Sangatlah menyakitkan untuk mengizinkan cakar itu merobek bagian terkeras dari harga diri saya, ego saya, zona nyaman saya, dan mengizinkan Kasih Yesus menyentuh saya. Akan tetapi seringkali Kristus menggunakan jalan ini karena jalan inilah yang efektif bagi kita untuk menyadari betapa kita membutuhkan Tuhan dalam setiap detik kehidupan kita.
Di dalam bukunya “Celebration of Discipline” Richard Foster mengatakan “kebutuhan terbesar dunia sekarang ini bukanlah lebih banyak orang orang pintar, atau orang orang bertalenta. Melainkan, orang orang yang mampu melihat ke dalam diri mereka sendiri” Arise, shine, Jesus is coming bukan hanya menjadi sebuah Slogan yang menarik untuk KKR dan Spanduk di Depan Gereja kita kalau kita tidak pernah melihat kedalam diri kita sendiri. Gantinya kita terus menerus menyalahkan orang lain untuk segala pergumulan di dalam hidup kita, atau lari dengan kecanduan, sibuk di dalam Politik Gereja, saling bermusuhan satu dengan yang lainnya, atau bersembunyi dibalik kehidupan spiritual yang semu, mungkin inilah waktu dimana kita perlu untuk mencari ke dalam dan berhenti hidup dalam kerohanian gunung Es. Izinkanlah cakarNya merobek tetapi juga menyembuhkan anda.